
Surakarta 22 januari 2025- Kasus terkait sertifikat tanah di Pulau D kembali mencuat setelah ditemukan berbagai kejanggalan dalam proses penerbitannya. Sertifikat dengan status Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT Kapuk Niaga Indah, yang berkedudukan di Kota Administratif Jakarta Utara, memicu kecurigaan publik. Berikut sejumlah fakta yang berhasil dihimpun:
Kejangalan Proses pendaftaran tanah
- Proses Kilat Penerbitan Sertifikat Sertifikat tersebut didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kota Administratif Jakarta Utara pada 23 Agustus 2021 dan hanya berselang satu hari, yaitu pada 24 Agustus 2021, sertifikat tersebut langsung diterbitkan. Proses ini dianggap tidak wajar, mengingat biasanya pengurusan sertifikat tanah membutuhkan waktu yang lebih lama.
- Dasar Pendaftaran Tanah yang Lemah Dasar pendaftaran tanah ini hanya berupa surat dari Kantor Pertanahan Kota Administratif Jakarta Utara tanpa adanya dokumen jual beli, hibah, atau warisan yang menjadi dasar sah kepemilikan tanah. Keadaan ini memunculkan pertanyaan besar mengenai asal-usul tanah tersebut.
- Luas Tanah yang Melebihi Batas Ketentuan Luas tanah yang tercantum dalam sertifikat mencapai 3.120.000 meter persegi atau sekitar 310 hektar. Hal ini melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang membatasi kepemilikan tanah oleh badan hukum hingga maksimal 50 hektar. Seharusnya, kepemilikan tanah seluas itu dibagi atas nama beberapa badan hukum atau individu.
Berdasarkan temuan tersebut, kuat dugaan bahwa tanah ini diperoleh tanpa proses jual beli yang sah. Bahkan, nama PT Kapuk Niaga Indah, yang terkait dengan kelompok “Naga”, kembali disorot karena diduga menjadi aktor utama dalam pelanggaran ini. Hal ini mengingat Pulau D sempat dihentikan pembangunannya oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, sebelum kembali dilanjutkan.
Proses pendaftaran dan penerbitan sertifikat yang super kilat semakin memperkuat dugaan bahwa ada keterlibatan pejabat tinggi, termasuk dugaan keterlibatan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional saat itu, Sofyan Jalil, bahkan hingga tingkat presiden. Kasus ini dianggap sebagai bentuk korupsi dalam penguasaan tanah dengan prosedur yang tidak sah.
Masyarakat menyerukan penghentian proyek reklamasi dan pembangunan di Pulau D, termasuk Pengembangan Pantai Indah Kapuk (PIK) yang sudah memasuki fase kedua. Mereka mendesak agar pihak-pihak terkait bertanggung jawab dan dilakukan penyelidikan menyeluruh atas dugaan pelanggaran hukum ini.
Kasus ini kembali menjadi sorotan nasional dan membuka ruang diskusi tentang pentingnya transparansi dalam pengelolaan tanah negara serta pemberantasan praktik korupsi di sektor agraria. Pemerintah diminta segera mengambil langkah tegas untuk menindak pihak-pihak yang terlibat dalam kejanggalan ini.
Tinggalkan Komentar