DISETRAP

Pusat Informasi Hukum

Gerakan Rakyat Yang Berakal Waras Bersama Anies Baswedan

Semarang, 8 Oktober 2025 — Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H. yang dalam acara ini sebagai pembicara pakar hukum melontarkan kritik tajam terhadap arah kebijakan hukum nasional yang dinilainya semakin menjauh dari semangat keadilan dan kesejahteraan rakyat. Hal itu ia sampaikan dalam acara Dialog Kebangsaan “Menuju Indonesia Cerdas dan Sejahtera”, Rabu (8/10).

Dalam kesempatan tersebut, Dr. Muhammad Taufiq, S.H.., M.H membuka pandangan dengan menanggapi pernyataan Rizky yang sebelumnya mengatakan bahwa “angka kemiskinan memang turun, tapi turun ke anak, cucu, tetangga, dan menantu.” Menurutnya, pernyataan itu keliru dan tidak mencerminkan pemahaman yang objektif terhadap realitas sosial.

“Pengamatan Awali Rizky itu salah. Sekarang saya berbicara soal politik hukum, dan politik hukum itu bicara tentang bagaimana hukum diciptakan untuk membuat rakyat mudah, sejahtera, dan berkeadilan,” ujar Dr. Taufiq di hadapan audiensi acara tersebut menjelaskan, hukum sejatinya diciptakan untuk mempermudah kehidupan masyarakat. Namun, ia menilai kebijakan pemerintah saat ini justru cenderung menciptakan aturan yang rumit dan membebani rakyat kecil.

Sebagai contoh, ia menyoroti kebijakan pembelian BBM bersubsidi yang kini mengharuskan masyarakat mendaftar dan menunjukkan STNK serta KTP di stasiun pengisian bahan bakar (SPBU). “Itu bukan hukum, itu hukuman. Karena hukum itu harusnya mempermudah, bukan mempersulit. Kalau orang mau beli bensin saja harus daftar, harus tunjuk STNK, itu sudah salah arah,” tegasnya. Ia juga menyinggung kebijakan baru yang mewajibkan balik nama dalam jual beli ponsel bekas, yang menurutnya menunjukkan lemahnya arah kebijakan publik.

“Negara lain sudah berpikir bagaimana mengantar manusia ke bulan atau ke planet lain, tapi kita masih disibukkan urusan HP second,” sindirnya disambut tawa para tamu undangan. Lebih jauh, Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H menilai bahwa negara saat ini telah kehilangan esensi dalam membentuk hukum. Ia menyebut bahwa banyak aturan yang dibuat tidak lagi berpihak pada kepentingan publik, melainkan hanya mengatur warga negara tanpa mengikat penyelenggara hukum itu sendiri.

“Kalau hukum hanya berlaku bagi rakyat, tapi tidak bagi penyelenggara hukum, maka itu bukan hukum. Hukum seharusnya berlaku untuk semua, termasuk mereka yang membuat dan menegakkannya,” jelasnya.

Menurutnya, fenomena tersebut menjadi tanda bahwa negara telah bergeser dari konsep negara hukum ke arah negara aturan — di mana regulasi dibuat hanya untuk menertibkan, bukan menyejahterakan.
“Hari ini negara ini tidak membuat hukum, tapi membuat hukuman. Negara yang banyak membuat hukuman, bukan hukum, adalah negara yang kehilangan akal sehat,” ucapnya dihadapan peserta, Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H menegaskan bahwa perubahan hukum tidak harus selalu dimulai dari Jakarta. Menurutnya, daerah memiliki ruang dan kemampuan untuk menjadi pelopor reformasi hukum.

Ia mencontohkan langkah yang dilakukan di Solo, di mana tim hukumnya pernah mengajukan gugatan hak uji materi terhadap kebijakan penjualan pasir ke luar negeri pada 5 Juni 2025 dengan Nomor Gugatan 5 P/HUM/2025. “Dan hasilnya, penjualan pasir ke luar negeri dinyatakan ilegal. Itu artinya, perubahan bisa dimulai dari daerah. Kita tidak harus menunggu pusat untuk berbuat benar,” terangnya
Sebagai penutup, beliau menyerukan pentingnya mengembalikan hukum pada fungsinya sebagai sarana rasionalitas dan keadilan sosial. Ia mengingatkan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang menghadirkan kemudahan, bukan kesulitan.

“Yang membuat mudah itu hukum, yang membuat sulit itu hukuman. Kalau kita ingin bangsa ini maju dan cerdas, maka kita harus kembali kepada akal waras,” tandasnya.

Dalam acara tersebut, turut dihadiri Anies Baswedan, Sahrin Hamid selaku ketua umum DPP Gerakan Rakyat, Siti Nur Markesi selaku Ketua DPW Gerakan Rakyat Jateng, dan beberapa pakar ekonom, ketahanan pangan, kesehatan dan hukum turut memberikan tanggapan positif atas pandangan Dr. Taufiq. Mereka menilai kritik yang disampaikan menjadi refleksi penting terhadap praktik penegakan hukum di Indonesia yang kerap kali melenceng dari semangat keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Tinggalkan Komentar