Beberapa waktu terakhir kembali hangat tentang wacana amandemen terbatas terhadap Undang-Undang 1945 atau UUD ’45 yang menuai pro dan kontra dikalangan masyarakat. Amandemen terbatas terhadap UUD ’45 tersebut dikabarkan untuk menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Rachmawati Soekarnoputri, putri pertama Presiden Soekarno merupakan salah satu tokoh yang ingin Indonesia kembali menggunakan UUD 1945 sebelum amandemen. Beliau berpendapat bahwa MPR saat ini sudah tidak seperti sebelum amandemen UUD 1945. MPR telah kehilangan superioritasnya sebagai lembaga tertinggi negara seperti tak memiliki kuasa.
Sebelum Amandemen UUD 1945, MPR dapat membuat ketetapan atau TAP MPR serta menetapkan GBHN.
Wakil Presiden Ke-6 RI Try Sutrisno mengusulkan untuk mengkaji ulang UUD 1945. Beliau berpendapat bahwa amandemen yang telah dilakukan sebanyak empat kali merupakan hal yang keliru dan banyak yang melenceng.
Try berpendapat bahwa pengkajian terhadap empat kali amandemen harus dilakukan demi mengembalikan UUD 1945 dengan naskah asli. Apabila materi empat kali amandemen cocok untuk memperkuat UUD 1945, maka dapat dijadikan adendum sebagai lampiran pada UUD 1945 yang asli.
Dengan mengembalikan UUD 1945 kepada naskah yang asli, maka MPR akan kembali menjadi lembaga tertinggi seperti sebelum amandemen.
“Kalau negara serikat, ada negara bagian ada dewan perwakilan daerah. Kalau kita enggak ada itu. Yang benar utusan daerah. Kembali lagi, MPR lembaga tertinggi isinya DPR, Utusan Daerah, Utusan Golongan,” tegas dia seperti yang dikutip dari Kompas.com.
Ia pun mendorong untuk pemilihan presiden kembali dipilih oleh MPR sesuai sistem NKRI dahulu. Menurutnya, hal tersebut sudah tercantum dalam sila keempat dalam demokrasi di Indonesia. Ia beranggapan bahwa pemilu yang saat ini berjalan hanya menghabiskan uang belaka.
Dilansir oleh Harian Kompas yang terbit pada 17 April 2002, amandemen UUD 1945 dilakukan demi kepentingan bangsa jangka panjang.
Ketua MPR saat itu, Amien Rais, menyatakan bahwa amandemen merupakan amanat reformasi. Amandemen yang dilakukan saat itu tidak membentuk UUD baru, bahkan tidak menyentuh Pembukaan UUD 1945 sama sekali.
“Jangan sampai kepentingan bangsa jangka panjang dikorbankan untuk menuruti nafsu politik sementara. Jangan hanya berupaya bernostalgia politik masa lalu, atau mungkin hanya ingin mempertahankan conflict of interest (konflik kepentingan-Red),” ujar Amien Rais pada 16 April 2002 seperti yang dikutip dari Kompas.com.
Seperti yang diketahui, UUD 1945 telah mengalami empat kali amandemen. Amandemen I terjadi pada 19 Oktober 1999 mengenai pembatasan periode jabatan.
Amandemen II terjadi pada 18 Agustus 2000 tentang penambahan aturan terkait wewenang dan posisi pemerintahan daerah, peran dan fungsi DPR, serta penambahan tentang hak asasi manusia.
Amandemen III terjadi pada 10 November 2001 tentang bentuk dan kedaulatan negara, aturan pemakzulan, hingga pembentukan lembaga seperti DPD, KY dan MK. Amandemen III juga menambahkan pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung.
Amandemen IV terjadi pada 10 Agustus 2002 tentang pendidikan dan perekonomian juga aturan peralihan dan tambahan.
Jika melihat UUD 1945 sebelum amandemen, dalam Pasal 3 dicantumkan bahwa MPR memiliki wewenang untuk menetapkan UUD dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Lebih lanjut dalam Bab III Pasal 6 menyebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Pasal 7 menyebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Jika kembali menggunakan UUD 1945 yang asli, maka keberadaan Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah, serta beberapa lembaga lain yang dibentuk setelah amandemen akan dihapuskan.
Pemilihan presiden dan wakil presiden tidak akan dilaksanakan secara langsung karena kembali dipilih oleh MPR. Apabila Presiden menguasai konstelasi politik, ada kemungkinan akan timbul pemerintahan otoriter karena ada MPR sebagai lembaga tertinggi.
Wacana untuk mengembalikan GBHN bertujuan untuk menciptakan kembali pembangunan nasional yang lebih konsisten dan berkesinambungan antara pusat dan daerah.
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII, Ahmad Ilham Wibowo, mengatakan bahwa pola pembangunan model GBHN memiliki 3 problematika yang berpotensi muncul yaitu problem politis, yuridis, dan pengawasan.
Problem politis meliputi kepentingan politik MPR dan Presiden. Meski GBHN dibuat oleh MPR, namun orang-orang yang berada di MPR juga memiliki kepentingan politik seperti halnya pembentukan kebijakan saat ini. Komposisi keanggotaan MPR didominasi oleh kekuatan politik. Hanya 1/3 yang mewakili kekuasaan non-politik melalui DPD (Pasal 22D ayat (2) UUD 1945).
Untuk problem yuridis, GBHN nantinya harus dituangkan dalam produk hukum yang memiliki daya ikat hingga bisa dijadikan pedoman arah pembangunan. Produk hukum yang dapat dikeluarkan oleh MPR hanyalah Ketetapan MPR (TAP MPR). Namun amandemen UUD 1945 telah merubah kewenangan tersebut hingga MPR tak lagi bisa mengeluarkan Tap MPR yang bersifat mengatur.
Problem pengawasan terletak pada pengawasan GBHN yang telah dibuat oleh MPR. Sebagai pembentuk GBHN, MPR bisa saja melakukan pengawasan terhadap GBHN. Namun MPR sendiri diisi oleh orang-orang yang memiliki kepentingan politik. Pengawasan tunggal dapat membuka celah penyalahgunaan kekuasaan.
Ahmad Ilham Wibowo dalam pernyataannya seperti yang dikutip oleh Detik.com memberikan 4 solusi terhadap problematika GBHN.
- Pertama, redesain pembentukan UU RPJPN melalui model tripartid dengan melibatkan DPD. Saat ini, pedoman pelaksanaan pembangunan diatur menggunakan UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (UU RPJPN) sebagai pedoman pembangunan nasional. Pengaturan pembentukan UU RPJPN melalui model Tripartid nantinya akan dilakukan secara bersama oleh 3 (tiga) lembaga yaitu, presiden (perwakilan eksekutif), DPR (Political representation), serta DPD (Teritorial representation). Model ini lebih mencerminkan prinsip checks and balances serta memberikan ruang yang besar bagi daerah untuk menyalurkan aspirasi pembangunan daerah di tingkat nasional melalui DPD guna menghindari disintegrasi pembangunan di daerah.
- Kedua, penguatan kelembagaan DPD melalui redesain pengaturan keanggotaan DPD. Saat ini jumlah DPD hanya 1/3 dari jumlah DPR (Pasal 22D ayat (2) UUD 1945). Implikasinya, DPD tidak memiliki kedudukan yang kuat untuk mengimbangi kekuatan politik yang dicerminkan Presiden dan DPR. Oleh karena itu, ke depan jumlah keanggotaan DPD perlu diseimbangkan dengan jumlah keanggotaan DPR. Hal ini untuk mengimbangi dominasi kekuatan politik yang dicerminkan oleh Presiden dan DPR serta untuk meningkatkan ruang aspirasi pembangunan daerah di tingkat nasional.
- Ketiga, penguatan kewenangan pengawasan oleh DPR dan DPD. UU RPJPN sebagai pedoman pembangunan nasional akan dijabarkan dan dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan daerah melalui peraturan pelaksanaannya. Guna menciptakan konsistensi, maka DPR dan DPD nantinya perlu diberikan ruang pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan (mengacu pada UU RPJPN) yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Pelaksanaan pengawasan ini dilaksanakan melalui hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat yang ujungnya adalah pengajuan impeachment terhadap presiden.
- Keempat, perubahan paradigma pembangunan nasional secara bottom up. Pola pembangunan nasional saat ini cenderung bersifat top down melalui pembentukan pedoman pembangunan nasional oleh pemerintah pusat yang kemudian dilaksanakan oleh pemerintah di bawahnya. Konsep ini cenderung mempersempit aspirasi daerah sehingga mengakibatkan adanya ketidaksesuaian antara pola pembangunan di daerah dengan di pusat. Oleh karena itu, ke depan pembentukan pedoman pembangunan nasional perlu dibangun dari bawah dengan memperhatikan aspirasi dan keinginan daerah (bottom up) yang disuarakan melalui DPD.