Disetrap.com – Senin (19/8) lalu, gelombang demonstrasi besar meletus di Papua Barat akibat isu yang beredar mengenai warga Papua di Pulau Jawa. Isu-isu yang beredar tersebut memicu warga Papua untuk melakukan protes dan sempat terjadi kericuhan yang menyebabkan terbakarnya Gedung DPRD Manokwari, Papua Barat.
Aksi demonstrasi yang muncul diduga karena ada gesekan antara mahasiswa Papua dengan masyarakat di Malang dan Surabaya.
Malang
Pada awalnya di Malang kelompok yang mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) menggelar aksi pada Kamis (15/8) pagi. Dalam aksi tersebut mereka menyampaikan pesan menuntut hak-hak rakyat papua. Aksi tersebut diikuti sekitar 30 orang yang melakukan long march dari Stadion Gajayana menuju Balaikota Malang.
Aksi yang digelar juga sekaligus menjadi peringatan untuk 57 tahun Perjanjian New York. Mereka menuntut tanggung jawab Amerika Serikat atas Penjajahan di West Papua.
Seiring waktu, ada penolakan dari warga atas aksi mahasiswa tersebut. Ada aksi provokasi dari kedua pihak dan aksi saling lempar batu yang berujung massa AMP – FRI-WP menutup jalan.
Berdasarkan keterangan dari Kepolisian, aksi tersebut tidak memiliki izin. Meski kelompok aksi telah mengirimkan pemberitahuan kepada kepolisian, namun saat dikonfirmasi mengenai isi tuntutan aksi serta siapa koordinatornya, tidak ada jawaban yang diterima dari pihak kepolisian. Walau begitu, kepolisian tetap melakukan pengamanan terhadap aksi tersebut untuk berjaga-jaga.
Di hari yang sama, Wakil Walikota Malang Sofyan Edi memberikan pernyataan kepada media tentang situasi yang terjadi. Dalam pernyataannya ia menyatakan bahwa Polri dan TNI sudah melakukan pengamanan di lokasi.
Lebih lanjut bahwa apabila sampai ada korban dari masyarakat sipil, kerugian dan kerusakan maka bisa masuk dalam ranah pidana perusakan. Sofyan menyatakan bahwa dirinya akan melihat dulu duduk perkara kejadian tersebut, dan salah satu opsi penyelesaiannya adalah memulangkan oknum yang bermasalah kembali ke daerahnya. Ia menyatakan bahwa kebijakan serupa pernah dilakukan.
Ungkapan ini kemudian menjadi salah satu pemicu kecil adanya protes dari warga Papua. Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan juga melontarkan rasa penyesalannya terhadap sikap Wakil Walikota Malang tersebut. Tak seharusnya kejadian tersebut disikapi dengan pernyataan provokatif.
Dalam wawancara dengan CNN Indonesia TV Senin (19/8) Dominggus menyatakan, “Karena ini bisa dikomunikasikan dengan Gubernur Jatim, Wali Kota, Gubernur Papua dan pejabat terkait lainnya sehingga bisa diselesaikan dengan baik. Sehingga tidak perlu keluar ungkapan, orang Papua akan dipulangkan dari Malang. Kalau dia bilang Orang Papua keluar dari Malang, di sini juga ada orang Malang. Tapi kan tidak begitu.”
Surabaya
Di Surabaya, ada pengepungan asrama mahasiswa Papua oleh aparat diduga TNI dan Polri serta beberapa Ormas pada Jumat (16/8) sore. Pengepungan tersebut dipicu karena adanya dugaan perusakan bendera merah putih yang ada di depan asrama tersebut. Aparat menduga hal tersebut dilakukan oleh penghuni asrama mahasiswa Papua.
Dalam pengepungan tersebut, ada oknum-oknum yang melontarkan kata-kata berunsur rasisme terhadap penghuni asrama mahasiswa Papua tersebut.
Di kesempatan lain, mahasiswa penghuni asrama membantah perusakan bendera merah putih tersebut dalam media lokal Suara Papua.
Para mahasiswa tersebut pun ditahan dan diperiksa oleh kepolisian untuk dimintai keterangan. Namun kemudian para mahasiswa dibebaskan dari penahanan kepolisian.
Kejadian demonstrasi di Papua Barat diduga merupakan ekses dari dua kejadian lain yang terjadi di pulau Jawa.
Sejarah Papua Gabung dengan NKRI
Sejarah tersebut bermula sejak tahun 1949 tatkala Konferensi Meja Bundar (KMB) menghasilkan penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia.
Dalam KMB masih ada masalah yang belum selesai mengenai status Papua. Belanda dan Indonesia sama-sama bersikukuh berhak atas tanah Papua. Saat itu Papua bagian barat di bawah kekuasaan belanda disebut sebagai Netherlands New Guinea. Belanda percaya bahwa wilayah tersebut bukan bagian dari Indonesia. Hal tersebut didasarkan pada perbedaan etnis dan ras dengan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Belanda ingin membentuk negara Papua Barat di bawah kekuasaan kerajaan Belanda. Indonesia tak sepakat dan bersikukuh bahwa semua bekas jajahan Hindia Belanda harus diserahkan.
Permasalahan ini sampi dibawa ke forum PBB dan berlangsung selama kurang lebih 11 tahun.
Tahun 1962, Presiden Soekarno membentuk Komando Mandala untuk merebut Papua dan menunjuk Mayor Jenderal Soeharto sebagai komandan operasi militer ini. Operasi ini berhasil menekan Belanda untuk bersedia berunding kembali.
15 Agustus 1962, Perjanjian New York dibuat dan menghendaki Belanda menyerahkan kekuasaan atas Papua kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Dalam perjanjian tersebut Indonesia harus melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
Pepera bertujuan memberikan rakyat Papua pilihan untuk memutuskan apakah akan menjadi bagian dari Indonesia atau tidak. Dalam pelaksanaannya pemerintah Indonesia memutuskan Pepera dilaksanakan dengan sistem musyawarah, bukan voting (pemungutan suara) seperti yang diamanatkan oleh PBB.
Pada akhirnya 1 Oktober 1962 Belanda menyerahkan kekuasaan Papua kepada UNTEA. Selanjutnya tanggal 31 Desember 1962, bendera Belanda resmi diturunkan dan diganti dengan bendera Merah Putih sebagai tanda dimulai kekuasaan Indonesia atas tanah Papua di bawah pengawasan PBB secara de jure.
Nama Papua
Di bawah kekuasaan Belanda, Papua pernah berkali-kali berganti nama sesuai dengan keinginan politik saat itu.
Pada tahun 1946,Frans Kaisepo yang saat itu mewakili Nieuw Guinea dalam konferensi di Malino-Ujung Pandang, melalui pidatonya yang berpengaruh terhadap penyiaran radio nasional, mengganti nama Papua dan Nieuw Guinea dengan nama Irian.
Nama Irian adalah satu nama yang mengandung arti politik. Frans Kaisepo pernah mengatakan “Perubahan nama Papua menjadi Irian, kecuali mempunyai arti historis, juga mengandung semangat perjuangan: IRIAN artinya Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”. (Buku PEPERA 1969 terbitan tahun 1972, hal. 107-108).
Seperti yang dikutip oleh waruno.de, dalam notulen konperensi Malino yang dipublikasi dengan judul “Kort verslag van de vergadering van de Malino-Conferentie op 18 Juli 1946” yang diterbitkan dalam S.L. van der Wal (ed.), “Offici‘le bescheiden betreffende de Nederlands-Indonesische betrekkingen 1945-1950”, deel 5, 16 Juli – 28 Oct. 1946, tercantum:
“De heer Kasiepo zeide, dat ….. …..
De band van het landschap Tidore met Nieuw-Guinea dient te worden verbroken. De naam Papoea moet worden afgeschaft, omdat dit woord het Tidoreesch “slaaf” beteekent. Het volk wenscht het land “Nieuw-Guinea” te noemen en het volk “Irian”.”
Artinya:
” Tuan Kasiepo mengatakan, bahwa…..…..
Ikatan kawasan Tidore dengan Guinea Baru hendaknya diputuskan. Nama Papua perlu dibatalkan, karena kata ini adalah kata bahasa Tidore yang berarti “budak”. Rakyat menginginkan supaya negerinya dibamakan ‘Guinea Baru’ dan bangsanya dinamakan ‘Irian’.”
Keterangan yang senada dengan itu (tapi sangat ringkas) dapat juga dibaca dalam Ensiklopedi Indonesia suntingan Shadily dll. (sub “Irian”).
Adalah untuk menuruti keinginan orang pribumi bagian barat pulau tersebut itulah, maka pemerintah RI kemudian memutuskan tidak memakai istilah Papua atuapun Guinea Baru, melainkan memakai nama Irian. Pada tahun 1962, menjelang dikembalikannya wilayah tersebut kepada Indonesia, pemerintah yang dipimpin Bung Karno memutuskan mengangkat status wilayah itu menjadi propinsi tersendiri dengan nama Irian Barat.
Berkenaan dengan kata “Papua”, maka dapat diterangkan bahwa nama ini berasal dari pendengaran Portugis akan kata “pepuah” atau “puah-puah” yang berarti “berambut keriting” dalam logat Melayu di Maluku Utara di masa lampau. Lihat misalnya R.J. Wilkinson, “A Malay-English dictionary” (1903).
Berikutnya, nama Irian diganti menjadi Irian Barat secara resmi sejak 1 Mei 1963 saat wilayah ini dikembalikan dari Kerajaan Belanda ke dalam pangkuan Negara Republik Indonesia.
Pada era reformasi sebagian masyarakat menuntut penggantian nama Irian Jaya menjadi Papua. Presiden Abdurrahman Wahid memenuhi permintaan sebagian masyarakat tersebut. Dalam acara kunjungan resmi kenegaraan Presiden, sekaligus menyambut pergantian tahun baru 1999 ke 2000, pagi hari tanggal 1 Januari 2000, dia memaklumkan bahwa nama Irian Jaya saat itu diubah namanya menjadi Papua seperti yang diberikan oleh Kerajaan Tidore pada tahun 1800-an.