Waspadai Sinyalemen Komnas HAM, Pakar Hukum “Jangan Mau Terjebak Skenario”

Disetrap.com- Adanya dugaan kekerasan seksual yang di lontrakan oleh Komnas HAM sontak menimbulkan beberapa komentar dikalangan masyarakat.

Seperti yang kita ketahui adanya dugaan kekerasan seksual terjadi pada kasus yang melibatkan Brigadir J atas laporan Putri Candrawati sudah dilakukan sp3 oleh pihak Kepolisian. Sedangkan untuk kasus pidana lain yakni pembunuhan berencana atas meninggalnya Brigadir J yang diduga dilakukan oleh Ferdi Sambo disebut-sebut adanya Obstruction of justice.

Meihat adanya sinyalemen dari Konnas HAM yang mengatakan adanya dugaan kekerasan seksual yang dilakukan Brigadir J kepada Putri Candrawati, Ketua KPAU (Koalisi dan Advokasi Umat) Ahmad Khozinuddin S.H menyebutkan bahwa seharusnya Komnas HAM fokus kepada tupoksinya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999  tentang Komisi Hak Asasi Manusia Jo Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

“Apabila Komnas HAM  ingin dianggap oleh masyarakat berprestasi seharusnya mendorong kasus ini agar menjadi suatu tindakan yang bisa diadili dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia. Atau tidak membatasi diri sesuai tupoksinya dan fokus pada soal ada tidaknya pelanggaran HAM” ujarnya saat melakukan wawancara PKAD, Kamis (08/09/2022)

Ahmad Khozinuddin menilai Komnas HAM tidak menjalankan tugas sesuai dengan tupoksinya.

“Saya melihat Komnas HAM sudah offside, bukan lembaga negara namun lembaga gosi karena membicarakan suatu perkara yang diperbincangkan oleh emak-emak. Seperti membicarakan motif pembunuhan Brigadir , kemudian Komnas HAM ikut menduga bahwa adanya motif pelecehan” imbuhnya.

Ia memberikan penegasan bahwa segala informasi yang berkaitan dengan pelecehan tidak bisa diterima apabila keluar dari orang-orang yang saat ini ditetapkan sebagai tersangka.

“Saya ingin memberikan penegasan kepada masyarakat bahwa saat ini segala informasi yang berkaitan dengan pelecehan tidak bisa diterima apabila keluar dari orang-orang yang saat ini ditetapkan sebagai tersangka. Karena di dalam KUHP dijelaskan bahwa tersangka juga mempunyai hak ingkar atau boleh berbohong untuk membela diri. Saya juga menduga saat ini para pelaku juga sedang merancang kobohongan versi jilid ke 2 setelah tidak bisa mempertahankan kebohongan yang pertama”.

Sedangkan menurut Presiden Asosiasi Ahli Pidana Indonesia (AAPI) Dr Muhammad Taufiq SH MH mengatakan bahwa hukum pidana di Indonesia tidak mempermasalahkan masalah motif.

“Hukum pidana di Indonesia kita tidak mempersoalkan motif namun akibatnya. Seseorang mempunyai niat jahat, tujuan jahat, dan berakibat. Itu saja” ucap pakar pidana tersebut.

Ia menyebutkan bahwa seharusnya aparatur negara tidak berbicara sedemikian rupa.

“Tetapi dalam peristiwa ini kembali dengan penyebutan Ketua Komnas HAM yang menyebutkan entah disadari atau tidak sebagai aparatur negara dalam posisinya menjaga Hak Asasi Manusia bisa berbicara tentang mafianya. Artinya ada upaya opini yang dibangun oleh pelaku-pelaku permisif misalkan yang ditunjukkan oleh Jaksa, Hakim, maka masyarakat diharap maklum karena reputasi Sambo sebagai seorang bos mafia” imbuhnya.

Tak hanya itu, M taufiq juga menyebutkan seseorang yang sudah meninggal tidak dapat dilakukan pemidanaan.

“Di dalam kasus Sambo frame yang dibangun lewat pembunuhan katanya Tim forensik menilai tidak ada penganiayaan, akan tetapi kita lihat dulu untuk bisa melepas 340 KUHP dia punya alasan kuat membunuh karena dilecehkan. Tetapi dalam Pasal 77 KUHP sudah jelas orang yang sudah meninggal tidak bisa di pidana.”ucapnya.

Ia mengatakan bahwa hal yang paling penting dalam suatu perkara pidana adalah akibat dari peristiwa yang dilakukan.

“Di Indonesia motif itu tidak penting, yang penting adalah ketika mempunyai niat jahat, tujuan jahat, dan berakibat yang membuat peristiwa menjadi lengkap. Seharusnya pembuktian menjadi lebih mudah” ujarnya.

M Taufiq mengatakan agar masyarakat jangan mau terjebak pada skenario, jangan mau terjebak pada proses rekonstruksi kasus Sambo.

“Dikarenakan Sambo merupakan pelaku penembakan maka dibangun sebuah frame istrinya dilecehkan, diperkosa tentu membunuh wajar. Akhirnya ketika kewajaranannya menjadi opini kemudian terbuka secara luas, jaksa bisa menuntut dengan Pasal 338 KUHP. Jangan mau kita terjebak pada skenario, jangan mau terjebak pada proses rekonstruksi tapi dasarkanlah pemeriksaan ini pada saat mereka ditangani oleh 3 Jenderal Bintang 3, Kabareskrim, WaKapolri, dan Kabaintelkam”. Pungkasnya [][][]

Tinggalkan Komentar