SOLO – Rapat Paripurna DPR yang digelar pada hari Selasa 17 September 2019 telah mensahkan revisi UU KPK ditengah kuatnya pertentangan dari berbagai pihak karena dianggap akan berdampak pada pelemahan institusi lembaga anti korupsi KPK. Dalam rapat paripurna tersebut DPR dan Pemerintah telah mencapai satu suara untuk mensahkan revisi undang-undang tersebut.
Rapat Paripurna dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dengan dihadiri 80 anggota DPR saat dibuka, meski dalam daftar hadir ada 289 anggota tercatat hadir dari 560 anggota DPR. Dalam rapat tersebut ada 7 fraksi yang setuju dengan revisi UU KPK seluruhnya, 2 fraksi yakni Gerindra dan PKS dengan catatan tentang Dewan Pengawas, sedangkan Demokrat tak memberikan suara.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dalam pernyataannya selaku perwakilan dari pemerintah menyatakan Presiden menyetujui revisi UU KPK disahkan menjadi UU meski banyak yang menyayangkan dan menentang kuat pengesahan RUU ini.
Pada tahun 2014 Presiden Joko Widodo saat melakukan klarifikasi harta kekayaan ketika dan mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika menjadi Calon Presiden (Capres) untuk tahun 2014-2019 menyatakan bahwa beliau mendukung lembaga antikorupsi tersebut. Dalam pernyataannya lembaga KPK perlu diperkuat dan jika diperlukan dilakukan penambahan anggaran serta penambahan penyidik.
“Ke depan KPK ini perlu diperkuat, anggaran perlu ditambah, kalau ekonomi kita bagus, bisa sampai meloncatnya mungkin perkiraan saya kurang lebih bisa 10 kali,” kata Jokowi di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (26/6/2014).
“Kemudian memperbanyak penyidik yang ada. Saya kira ribuan lah perlu ditambahkan agar kekuatan KPK betul-betul sebagai institusi yang betul-betul begitu kuat,” tutupnya.
Ketua DPC IKADIN Surakarta, Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H. dalam pernyataannya kepada wartawan pada hari Senin (23/09/2019) mengatakan bahwa pengesahan RUU KPK menjadi titik hilangnya lembaga superbody tersebut.
“RUU KPK yang telah disahkan nantinya akan menjadikan lembaga superbody tersebut perlahan hilang. Penyidik KPK yang nantinya berstatus sebagai PNS menjadi sebuah pertanyaan akan independensi sebuah lembaga antikorupsi,” ungkapnya dalam pernyataannya kepada wartawan.
Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H. menyampaikan bahwa ada satu saran yang menurutnya dapat memperkuat lembaga KPK yaitu dengan sinergitas bersama lembaga PPATK.
“Sinergitas antara lembaga KPK dan PPATK sebenarnya dapat berpotensi lebih memperkuat pemberantasan korupsi di Indonesia. Sinergi tersebut akan memberikan KPK kewenangan untuk mengawasi setiap transaksi keuangan yang dilaporkan terindikasi menjadi tindak pencucian uang. Sinergi ini bentuknya mengintegrasikan PPATK ke dalam KPK,” ungkapnya lebih lanjut.(hw)
Tinggalkan Komentar