Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) menetapkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait penetapan anggota DPR terpilih periode 2019-2024. Wahyu ditetapkan sebagai tersangka setelah rangkaian operasi tangkap tangan di sejumlah lokasi yang menjaring sebanyak delapan orang pada Selasa (7/1/2020) kemarin.
Terkait peristiwa ini, Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H., memberikan pandangannya. “Jika benar suap kepada Wahyu Setiawan tujuannya adalah untuk PAW anggota DPR RI PDIP dan uang suap diduga dari pengurus partai, maka KPK memiliki hak memeriksa sekretariat DPP PDIP termasuk ruang sekretaris jendral DPP DPIP. Bukan malah menghalangi, sebab dulu Lutfi Hasan Ishak PKS ditangkap justru malah saat rapat di kantor DPP”, ujar pakar hukum pidana Universitas Djuanda Bogor tersebut.
KPK batal menggeledah gedung DPP PDIP karena dihalangi untuk masuk ke dalam gedung. “Menghalangi penyidikan bisa dikenakan Pasal 21 UU TIPIKOR yakni obstruction justice dengan ancaman 7 tahun. Kasus yang melibatkan PDIP ini terjadi 2019 dan pekerjaan KPK lama jadi belum memakai UU KPK yang baru karenanya tidak perlu ijin untuk menggeledah”, tambah Muhammad Taufiq.
Diduga Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDIP, yang menjadi dalang yang penghalangan penyidik KPK masuk gedung DPP PDIP.
Tindakan ini, menurut Taufiq, konyol dan aneh di mata hukum sebab setiap warga negara harus taat dan menghormati hukum. Sikap pengurus PDIP adalah contoh buruk bagi penegakan hukum dan ia meminta KPK tetap melanjutkan memeriksa Hasto Sekjen PDIP jika memang indikasi ke arah sana ada. Taufiq berpendapat KPK itu berbasis alat bukti, artinya seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka itu berdasarkan bukti fisik yang cukup kuat. Maka sulit menghindar jika sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Tinggalkan Komentar