
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menegaskan bahwa pihaknya tidak serta-merta menolak memberikan informasi terkait Presiden Joko Widodo (Jokowi), khususnya yang menyangkut dugaan ijazah palsu. Namun, dalam surat resmi yang diterbitkan lembaga tersebut, KPU menyatakan bahwa permintaan yang diajukan oleh Judicial Corruption Watch (JCW) belum memenuhi ketentuan administratif yang diperlukan untuk dapat diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Pernyataan tersebut tertuang dalam Surat Jawaban Permohonan Nomor 50/PP.07.2-SD/3372/4/2025 yang diterbitkan oleh KPU pada tanggal 21 April 2025. Dalam surat tersebut, KPU menjelaskan bahwa permohonan informasi publik dari JCW dinilai tidak lengkap secara formal dan substantif. Hal ini menjadi dasar utama KPU untuk tidak memberikan informasi yang diminta hingga dokumen permohonan dilengkapi sebagaimana mestinya.
JCW sebelumnya mengajukan permohonan keterbukaan informasi kepada KPU terkait dokumen ijazah pendidikan Presiden Jokowi. Permintaan ini diajukan dengan dasar adanya kecurigaan dan dugaan publik tentang keaslian dokumen ijazah tersebut, yang belakangan ramai dibicarakan di media sosial dan forum-forum diskusi masyarakat sipil. Menurut JCW, sebagai pejabat publik, data diri Presiden, termasuk latar belakang pendidikan yang seharusnya dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat karena berkaitan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Dalam permohonannya, JCW menegaskan bahwa ijazah bukanlah dokumen yang tergolong sebagai informasi yang dikecualikan atau rahasia negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Oleh karena itu, JCW menilai KPU seharusnya tidak memiliki alasan untuk menolak memberikan akses terhadap informasi tersebut kepada publik.
Namun, KPU berpegang pada ketentuan hukum dan prosedur yang berlaku. Dalam surat jawaban tersebut, KPU merujuk pada Pasal 33 ayat (1) Peraturan Komisi Informasi Republik Indonesia (Perki) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik, yang menyebutkan bahwa permohonan informasi harus disampaikan secara tertulis dan memenuhi sejumlah persyaratan administratif, termasuk identitas pemohon dan rincian informasi yang diminta.
Surat jawaban dari KPU ini sekaligus menjadi penegasan bahwa penolakan bukan didasarkan pada substansi informasi yang diminta, melainkan pada ketidaksesuaian prosedur administrasi dari pihak pemohon. Hingga saat ini, JCW belum memberikan tanggapan resmi mengenai langkah selanjutnya, namun mereka diperkirakan akan melengkapi berkas permohonannya untuk kemudian mengajukan ulang sesuai prosedur yang telah ditetapkan.
Kasus ini menambah daftar panjang perdebatan publik mengenai keterbukaan informasi pejabat negara dan menjadi ujian nyata terhadap penerapan prinsip transparansi dalam sistem demokrasi di Indonesia.
Tinggalkan Komentar