
Surakarta, 8 Oktober 2025 – Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya menyerahkan salinan ijazah mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang digunakan untuk mendaftar sebagai calon presiden pada 2019, menyusul permohonan berdasarkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Penyerahan dokumen ini memicu polemik baru terkait keaslian ijazah, dengan sejumlah kejanggalan yang disorot, menambah tekanan pada Jokowi dan pendukungnya.
Dalam siaran langsung di Channel Youtube Salam Akal Waras, Dr. Taufiq mengungkapkan kegembiraannya atas keberhasilan mendapatkan salinan ijazah tersebut, yang diperoleh melalui Insinyur Komardin Didin. Aktivis ini sebelumnya menggugat Universitas Gadjah Mada (UGM) di Pengadilan Negeri Sleman dan Surakarta, namun gugatannya ditolak. Salinan ijazah yang dilegalisir oleh KPU ini diterima pada 2 Oktober 2025 melalui undangan email dari KPU Pusat, setelah permohonan diajukan sejak 15 September 2025. Komisi Informasi Provinsi Jawa Tengah dikritik karena lambat merespons, hanya memberikan nomor registrasi tanpa jadwal sidang.
Dokumen tersebut menyatakan Jokowi lulus ujian sarjana kehutanan pada 5 November 1985. Namun, sejumlah kejanggalan ditemukan: tidak ada nomor ijazah, jurusan spesifik tidak disebutkan, nama rektor Prof. Dr. Teguh Yaakob MS M.I.D tercantum tanpa tanda tangan, nama dekan Prof. Dr. Sunardi Prawiro Hatmojo disebutkan, dan kolom pengesahan tampak disensor. “KPU mengakui ini dokumen pendaftaran, tapi kenapa kolom pengesahan dihapus? Ini membingungkan,” ujar Dr. Taufiq.
Salinan ini identik dengan dokumen yang diunggah oleh kader PSI, Dian Sandi, pada 1 April 2025, yang telah ditonton 7,9 juta kali di media sosial. Pakar telematika Roy Suryo, bersama Rismon Hasiholan Sianipar dan akun Tifa, menggunakan teknologi Error Level Analysis (ELA) untuk menyatakan bahwa dokumen ini 99,99% bukan salinan dari ijazah asli. “Ini berbasis data, bukan hoax atau fitnah. Kami hanya menyampaikan fakta,” tegas pengamat tersebut.
Pengakuan KPU bahwa dokumen ini digunakan untuk pendaftaran dianggap sebagai “bukti sempurna” berdasarkan Pasal 184 KUHAP, yang mencakup keterangan saksi, ahli, dan petunjuk. Pengamat tersebut mendesak kepolisian untuk tidak menghentikan penyelidikan, merujuk pada pernyataan mantan Direktur Tindak Pidana Tertentu, Djuhandhani Puro (kini Kapolda Sulsel), yang mengklaim memiliki ijazah asli. “Tim hukum Roy, Rismon, dan Tifa harus ke Bareskrim, minta ijazah asli itu ditunjukkan. Ijazah hanya satu, bukan dua atau tiga,” ujarnya.
Polemik ini memicu reaksi di media sosial X. Pengguna menyerukan transparansi, sementara pendukung Jokowi menyebut dokumen itu hanya fotokopi biasa yang dilegalisir. Namun, pengamat menegaskan bahwa pengakuan KPU membuat keberadaan versi lain dipertanyakan. “Jika UGM, Timses, atau pendukung Jokowi membela dokumen ini, mereka berisiko melegitimasi sesuatu yang tidak asli, bahkan bisa masuk obstruction of justice,” tambahnya, memperingatkan konsekuensi hukum.
Informasi terbaru menyebut KPU Surakarta juga akan merilis salinan serupa, yang disebut sebagai bagian dari “strategi total football” untuk membalikkan narasi. “Hukum acara pidana harus cepat, murah, dan singkat untuk kepastian hukum. Tidak mungkin KPU mengeluarkan dokumen ini tanpa kekuatan besar di belakangnya,” ujar Dr. Taufiq yang juga sebagai Dosen FH Unissula tersebut, menduga adanya tekanan eksternal. Ia menyerukan KPU Pusat, Provinsi, dan Surakarta untuk tidak menghalangi penyelidikan, yang dapat dianggap sebagai obstruction of justice.
Hingga kini, UGM dan pihak Jokowi belum memberikan pernyataan resmi. Dr. Taufiq menutup siarannya di channel Salam Akal Waras dengan pesan, “Ini rahmat tersembunyi. Tetap cerdas, jujur, dan pemberani. Siapa yang jahat harus diingatkan, atau berakhir di penjara.” Tuntutan agar ijazah asli yang disita polisi segera diungkap semakin menguat, dengan potensi mengguncang kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Tinggalkan Komentar