DISETRAP

Pusat Informasi Hukum

Dugaan Rekayasa Hukum dan Manipulasi Data Akta Notaris di Kasus Jual-Beli Saham

Semarang, 8 Oktober 2025 – Kasus jual-beli saham PT Mutiara Arteri Property di Semarang, Jawa Tengah, mencuat ke publik dengan dugaan rekayasa hukum dan manipulasi data akta notaris. Dalam kasus ini, notaris Yustiana Servanda, S.H., M.Kn. diduga menjadi korban kriminalisasi dalam proses hukum yang tidak wajar.

Berdasarkan informasi yang disampaikan, kasus ini berawal dari pembuatan akta jual-beli saham perusahaan properti. Akta tersebut dibuat dengan melibatkan para pihak yang hadir dan menandatangani dokumen secara sah. Namun kemudian terdapat kejanggalan, bagaimana mungkin akta yang dibuat oleh para pihak, tiba-tiba diambil alih oleh kepolisian, khususnya Kepolisian Daerah Jawa Tengah, menjadi perkara pidana . Padahal, menurut teori hukum, pembatalan akta hanya dapat dilakukan oleh para pihak yang membuatnya atau melalui putusan pengadilan. “Akta ini nyata, orangnya ada, dan tanda tangannya jelas. Tapi notaris Istiana Sirvanda SMK malah dipidanakan,” ujar sumber yang enggan disebutkan namanya.

Lebih lanjut, proses penanganan perkara ini dinilai janggal. Penyidik kepolisian mengeluarkan surat pemberitahuan (P17) yang kemudian mendapat tanggapan dari kejaksaan melalui P18, menyatakan berkas belum lengkap. Jaksa kemudian mengeluarkan petunjuk (P19) hingga 19 kali, yang menunjukkan adanya kejanggalan dalam proses penyidikan. “Ini menandakan ada sesuatu yang tidak beres dalam perkara ini” ungkap Dr. Taufiq.

Dugaan manipulasi hukum semakin menguat dengan hilangnya data akta perubahan PT Mutiara Arteri Property dari Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH). Akta nomor 13 tanggal 29 Desember 2020, yang dibuat oleh notaris Yustiana Servanda, S.H., M.Kn. di Semarang, telah resmi diterima dan dicatat pada 31 Desember 2020. Akta ini terkait perubahan peningkatan modal perusahaan dan telah terdaftar atas nama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dengan bukti cetak pada 6 Januari 2021. Namun, data tersebut tiba-tiba hilang dari sistem ketika diakses pada 5 Agustus 2025.

“Hilangnya data akta yang wajib dipublikasi ini sangat aneh. Ini menunjukkan adanya manipulasi data oleh pihak-pihak tertentu,” kata Dr. Taufiq. Ia juga menyinggung kemungkinan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang mengatur ancaman pidana hingga 10 tahun penjara dan denda Rp1 miliar bagi siapa saja yang mengubah atau menghilangkan data tanpa izin.

Rencana Tindakan Hukum

Terkait kasus ini, Yustiana Servanda, S.H., M.Kn. merasa dirugikan berencana akan mengambil langkah hukum, baik melalui gugatan perdata maupun laporan pidana. “Kami akan mengirim somasi terlebih dahulu untuk meminta penjelasan mengapa akta yang sudah terdaftar bisa hilang. Ini adalah tugas baru, karena notaris sebagai pejabat publik seharusnya tidak bisa seenaknya dihapus datanya,” imbuh Dr. Taufiq.

Kasus ini juga disebut-sebut memiliki kemiripan dengan praktik manipulasi data oleh pejabat publik di wilayah lain, seperti yang terjadi soal permintaan transparansi arsip ijazah jokowi di Komisi Informasi Publik. Kasus ini menambah daftar panjang dugaan penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum dan pejabat publik, serta memunculkan pertanyaan besar tentang integritas sistem administrasi hukum di Indonesia.

Tinggalkan Komentar