
Yogyakarta, 11 Oktober 2025 – Dalam suasana panas dan penuh semangat, ratusan aktivis, akademisi, pengacara, dan tokoh masyarakat berkumpul di Gedung (Persaudaraan Jamaah Haji Indonesia) untuk menggelar Forum Kebangsaan Yogyakarta. Acara bertajuk “Menuju Pemerintahan yang Bersih dan Berkeadilan” ini menjadi panggung kritik keras terhadap dugaan pemalsuan ijazah mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Peserta menyerukan dua tuntutan utama: adili Jokowi beserta kroninya atas pemalsuan ijazah, serta mazalkan Gibran karena diduga tidak memenuhi syarat pendidikan minimal SMA sesuai Undang-Undang Pemilu.
Forum ini dipilih di gedung bersejarah yang dibangun pada 1982 atas restu Sultan Hamengku Buwono IX, sebagai simbol keberkahan dan perjuangan kebenaran ala Jawa. Pembicara utama seperti Rismon Hasiholan Sianipar, Roy Suryo, Tifa, pengacara Muhammad Taufik, dan perwakilan emak-emak menyoroti krisis legitimasi kepemimpinan nasional. “Bangsa Indonesia di ambang kehancuran jika pemimpin tak legal,” tegas salah satu narasumber.
Analisis Forensik: Ijazah Jokowi 99,99% Palsu
Pusat perhatian adalah ijazah sarjana Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) milik Jokowi. Rismon Sianipar dan timnya mempresentasikan hasil analisis multidisiplin: digital forensic, telematika, neuro digital, error level analysis (ELA), dan mirror image analysis. Kesimpulan: ijazah tersebut 99,99% palsu. “Ini sains yang bisa direkonstruksi dan dibantah. Mana bantahan dari UGM atau Profesor Oma Elvia? Bukan dengan tersangkakan kami!” seru Rismon.
Keanehan lain: sistem ijazah sarjana muda UGM hingga 1984, di mana pemilik sarjana muda otomatis punya sarjana penuh. Surat resmi telah dikirim ke UGM untuk verifikasi, termasuk wawancara dengan Profesor Bagas (TNI-UGM). Jika Jokowi tak punya ijazah dasar, tuduhan pemalsuan menguat. Muhammad Taufik, dosen Universitas Islam Sultan Agung (Unisula), menjelaskan aspek hukum: “Ada dua perbuatan hukum—mendaftar ke KPU dengan fotokopi ijazah dan penggunaannya. Bukti cukup per Pasal 184 KUHAP: keterangan saksi, ahli, petunjuk.”
Tersangka potensial: tim sukses Jokowi (termasuk Eko Sulistyo, Anggit ex-Solopos, Profesor Paiman), tim hukum Peradi Bersatu, rektorat UGM (Rektor, Wakil Rektor II), dan dekanat Kehutanan. “Hukum memudahkan pidana dengan dua bukti saja. Postingan Dian Mandri (PSI) pada 1 April 2025, ditonton 7,9 juta kali, jadi petunjuk kuat,” ujar Taufik. Ia membedakan “hukum” (memudahkan keadilan) dan “hukuman” (menyulitkan pembuktian), kritik negara yang justru pidanakan peneliti seperti Rismon, Roy Suryo, dan Tifa.
Laporan Desember 2024 dan pengaduan Jokowi ke Bareskrim 30 Januari 2025 disebut mencapai kesesuaian: ijazah palsu harus dibawa ke pengadilan, bukan dibalik jadi tersangka pembuktinya.
Gibran Tak Lulus SMA: Ancaman Legitimasi Wapres
Kasus Gibran lebih parah: diduga tak punya ijazah SMA per Pasal 169 UU Pemilu No. 7/2017. Pendidikannya di Orchid Park Secondary School, Singapura, tak tuntas. UTS Insearch hanyalah program persiapan S1 di University of Technology Sydney (UTS), Australia, bukan setara SMA. “Surat keterangan kesetaraan dari Kemendikdasmen (eks Menteri Sutanto) harus dipertanggungjawabkan,” tuntut perwakilan emak-emak.
Forum desak KPU berikan akses arsip pendaftaran Gibran di Pilkada dan Pilpres. “Wapres tak legal memimpin negara. Kami dukung Rismon, Roy, Tifa untuk klarifikasi,” tambah mereka. Kritik meluas ke keluarga Jokowi, termasuk Iriana (diduga magister alam gaib) dan Gibran sebagai “STIS: Sekolah Tanpa Ijazah”.
Pernyataan Sikap 7 Poin dan Rencana Aksi Radikal
Forum merilis pernyataan sikap yang dibacakan Profesor Dr. Muhammad Yusin, diwakili Deru Nugroho:
- Persyaratan pendidikan capres/cawapres minimal SMA/sederajat (Pasal 169 UU Pemilu).
- Gibran diduga tak punya ijazah SMA.
- Pertanggungjawaban Kemendikdasmen atas surat kesetaraan Gibran.
- Dukung upaya Rismon, Roy Suryo, Tifa, dan aktivis.
- Akses arsip KPU untuk pendaftaran Gibran.
- Proses pemakzulan Gibran oleh DPR RI.
- Dukung reformasi Polri oleh Presiden Prabowo untuk basmi korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan Jokowi.
Rencana aksi: Minggu depan, jika tak dijawab Kemendikdasmen, demo massal dan buka posko harian. “Surat-menyurat diabaikan; hanya teriakan di depan gedung yang dipahami pejabat,” ujar pembicara. Forum juga kritik KPK sebagai “komisi pilih kasus”, desak ganti Kapolri/Jaksa Agung, dan reformasi Polri jadi Kementerian Keamanan (skenario Prabowo vs. insubordinasi Kapolri Sigit).
Kritik Sistemik: Hukum Kebalik dan Reformasi
Taufik soroti “relasi kuasa”: Jaksa Agung kendalikan eksekusi, Polri tak mandiri di bawah presiden—unik di dunia. Contoh: Sylvester Matutina bebas meski vonis, sementara pembuktij ijazah dipidanakan. “Hukum kebalik: yang malsu ijazah aman, pembuktinya tersangka.” Dukungan untuk Prabowo: reformasi politik, tegas nepotisme.
Peserta doakan kebenaran muncul, dengan shalawat dan salam. Acara disebut barometer nasional, berpotensi nyebar ke Jawa dan Indonesia. “Kebenaran bukan perasaan, tapi yakin dengan bukti akademik ketat,” tutup narasumber. Forum undang rakyat bergabung, tekankan integritas demokrasi.
Tinggalkan Komentar