DISETRAP

Pusat Informasi Hukum

Rismon dan Taufiq Kolaborasi Menyoal Pemakzulan

Yogyakarta, 11 Oktober 2025 – Channel Youtube “Salam Akal Waras” di Yogyakarta menjadi panggung diskusi menarik mengenai dugaan ketidakabsahan ijazah SMA Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden RI. diskusi Dr. Taufiq bersama dengan Rismon Sianipar ini menyoroti pelanggaran norma Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya Pasal 169 Huruf R, yang mensyaratkan pendidikan minimal SMA atau sederajat untuk calon wakil presiden. Pembicara utama, ahli hukum Bang Taufik, menegaskan bahwa fakta ini membuka peluang pemakzulan melalui Mahkamah Konstitusi (MK), sekaligus mengkritik KPU sebagai “Komisi Paling Ure” alias curang.

Diskusi dimulai dengan nada satir, membandingkan syarat ketat untuk pekerjaan sehari-hari seperti satpam atau karyawan pabrik—yang mengharuskan ijazah asli SMA dan fisik prima (tinggi minimal 170 cm untuk “menahan empat jurusan angin”)—dengan kelonggaran KPU terhadap calon wapres. “Gaji UMR saja syaratnya banyak, ijazah asli harus ditunjukkan. Tapi mencalonkan wapres? Ijazah SMA Gibran hilang, surat keterangan doang,” ujar Taufik, merujuk surat penyetaraan ijazah dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2019 yang ditandatangani Dr. Sutanto.

Aktivis seperti Rismon dan dr. Tifa telah mengirim surat klarifikasi ke Menteri Abdul Mu’ti, menuntut dasar penerbitan surat tersebut. “Dua minggu lalu kami ajukan. Jika tak ada respons Senin depan, kami buka posko aspirasi rakyat,” kata Rismon. Langkah ini dilindungi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaian Pendapat di Muka Umum, yang hanya butuh pemberitahuan untuk unjuk rasa. Mereka juga sebut pernyataan Sekretaris Dirjen Dikdasmen, Dr. Eko Susanto, yang mengakui tak ada ijazah SMA/SMK asli Gibran, hanya surat keterangan.

Taufik menjelaskan norma hukum: “Seperti naik motor wajib SIM, STNK, helm—tanpa itu tidak sah. Ijazah minimal SMA wajib, meski sekolah sederajat luar negeri seperti dari Singapura. Jika dimanipulasi, itu kejahatan.” Ia soroti rekayasa politik era Jokowi, termasuk perubahan PKPU dan Putusan MK Nomor 90 yang longgarkan syarat usia, hingga Gibran terpilih. “Secara politik terpilih, tapi hukum dan administrasi tidak sah. Solusi: pemakzulan via MK atau DPR.”

Mekanisme pemakzulan digambarkan detail: Pencabutan surat keterangan oleh Kemendikdasmen akan batalkan pencalonan secara administratif, lalu digugat ke MK. “Bukti cukup untuk bilang tidak memenuhi syarat normatif. DPR usulkan, MK putuskan. Bukan makar—makar baru Pasal 107-116 KUHP: lawan kekuasaan sah dengan senjata terorganisir. Ini escape clause konstitusi untuk hindari demo besar.” Jalur politik lain: pengunduran diri Gibran, atau DPR minta mundur. Taufik tekankan verifikasi wajib Dikdasmen, mirip uji kompetensi advokat atau dokter asing: “Surat dari Singapura (MDIS) harus diuji di Indonesia; tak pernah, tak berlaku.”

Opini pro-pemerintah yang klaim Gibran punya S1 sehingga ijazah SMA irelevan dibantah keras. “Sistem pendidikan nasional rantai: SD-SMP-SMA. Surat setara SMA tak sah, batal demi hukum termasuk S1-nya. Contoh: Kader PSI dibatalkan pencalonan meski sarjana karena tak ada ijazah SMA.” Taufik sebut narasi ini “opini sesat” dari “termul-termul komisaris” atau penjilat rezim, yang tak pakai logika hukum. Kasus ijazah Jokowi disebut paralel: ITB temukan data lengkap dari KPU tanpa pemutihan, bukti manipulasi nomor seri dan tanda tangan rektor.

Taufik desak publik aktif: “Gunakan KIP untuk verifikasi SD-SMP-SMA. Keluar medsos, datangi KPU, gugat MK. People power sah, bukan anarkis—dilarang cuma rusak fasilitas.” Ia kutip Putusan MK Nomor 105/PUU-XXI/2023 yang lindungi kritik pejabat. Forum ini harap tularkan gerakan ke daerah, dengan undangan ke Kudus (20 Oktober) dan Lamongan (25 Oktober). “Mahasiswa agen perubahan, bukan buru komisariat. Keterlibatan rakyat hancurkan narasi ‘sedikit kaum kebencian’.”

Diskusi juga bahas reformasi Polri di bawah Prabowo. Taufik usul tiga pilar berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2002: revitalisasi (kembali tugas keamanan dalam negeri: layani, lindungi, tegakkan hukum); reorganisasi (pindah cyber ke Badan Siber Nasional, narkoba ke BNN, lalu lintas ke Kemenhub, polisi laut ke Bakamla, kurangi 4.000 polisi di kementerian); reposisi (hilangkan pangkat jenderal, karena tak urus tentara asing). “Polisi akan dicinta jika fokus keamanan, bukan hegemoni politik.”

diskusi di tengah cuaca panas Yogyakarta, disebut “istimewa” karena keberaniannya—seperti kasus hacker situs judi ditangkap sementara pemiliknya DPO. Pesan penutup: “Kalau orang baik diam, jabatan dipegang orang jelek. Berkorban nyata, bukan medsos doang.” Forum ini dorong keterlibatan nasional untuk akuntabilitas, lawan rezim 10 tahun yang intimidasi via ITE. Yogyakarta diharap jadi inisiator gerakan serupa di seluruh Indonesia.

Tinggalkan Komentar