DISETRAP

Pusat Informasi Hukum

Polisi Menghina Pengadilan.? Sidang Citizen Lawsuit Dugaan Ijazah Palsu Jokowi

Surakarta, 14 Oktober 2025 – Persidangan dugaan pemalsuan ijazah mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Pengadilan Negeri Surakarta memasuki tahap mediasi hari ini, dengan harapan sederhana dari pihak penggugat: kehadiran perwakilan Polri untuk menunjukkan ijazah yang pernah disita. Namun, absennya tergugat keempat, yaitu Kepolisian RI, memicu kritik tajam atas dugaan ketidakpatuhan terhadap proses hukum.

Dalam sidang yang dipimpin oleh Majelis Hakim yang diketuai langsung oleh Ketua Pengadilan Negeri Surakarta, penggugat menyatakan kesiapannya mencabut gugatan jika polisi hadir dan membuktikan keaslian ijazah Jokowi. “Andai kata hari ini polisi datang, sesuai dengan pernyataan Bareksrim 25 April 2025 bahwa telah menyita ijazah, kami akan cabut gugatannya,” ujar salah seorang kuasa hukum penggugat, Dr. Taufiq, usai sidang.

Menurut Dr. Taufiq, strategi melibatkan Polri sebagai tergugat bertujuan agar ijazah sitaan dapat ditunjukkan di persidangan. Pernyataan Bareksrim Polri pada April lalu menyebutkan bahwa ijazah Jokowi telah diamankan sebagai barang bukti. “Ini punya relasi, karena Pak Polisi pernah mengatakan sudah menyita ijazah Pak Jokowi. Kalau ditunjukkan ternyata asli, saya cabut gugatannya. Sebenarnya ini simple,” tambahnya.

Namun, ketiadaan perwakilan Polri—meski telah dipanggil secara resmi sebanyak tiga kali—menjadi sorotan utama. Penggugat menilai hal ini sebagai bentuk penghinaan terhadap peradilan atau contempt of court. “Yang memanggil pengadilan, bukan kami. Surat relas sudah sampai, tapi tidak datang. Ini bagian dari menghina peradilan,” tegas Dr. Taufiq, merujuk Pasal 6 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2016 yang mewajibkan kehadiran pihak terkait dalam mediasi.

Ia juga mengkritik inkonsistensi sikap Polri: “Kalau polisi memanggil masyarakat, wajib hadir, bahkan bisa dijemput paksa. Tapi ketika dipanggil pengadilan dengan layak, tiga kali tidak datang. Silakan masyarakat yang menilai.” Absennya Polri disebut memicu keraguan atas kejelasan perkara ijazah, terutama setelah pernyataan mantan Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim, Brigjen Djuhandhani—kini Kapolda Sulawesi Selatan—yang kala itu mengonfirmasi penyitaan.

Sidang hari ini difokuskan pada mediasi yang dipimpin oleh mediator Dara, seorang non-hakim karir yang sebelumnya telah menghubungi tujuh mediator lain untuk memastikan independensi proses. Penggugat menyoroti pengalaman Majelis Hakim yang dipimpin Ketua PN Solo, yang disebut lebih bijak dan berpengalaman panjang. “Satu hakimnya wise, yang kedua sangat menguasai. Mudah-mudahan Bu Dara profesional seperti Prof. Adi,” kata Dr. Taufiq, merujuk mediasi sebelumnya yang meski gagal mencapai mufakat, tetap berjalan profesional.

Sesuai Perma Nomor 1 Tahun 2016, pihak penggugat telah menyiapkan proposal mediasi yang akan diserahkan nanti pukul 11.00 WIB, bersamaan dengan kemungkinan kehadiran “dokter Dara” sebagai mediator. Namun, sifat mediasi yang tertutup membuat detail poin-poin proposal tidak diungkap. Penggugat juga menekankan komitmen pada asas ultimum remedium, di mana upaya perdata harus dijalankan terlebih dahulu sebelum pidana.

Hari ini, sidang sempat membahas potensi nama mediator “Dura” yang ternyata “Dara” dari Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi (Unisri), dengan jaminan independensi meski dikhawatirkan ada kedekatan dengan pihak terkait seperti Pak Irfan. Penggugat menyerahkan sepenuhnya proses kepada mediator Dara.

Ketiadaan Polri disebut berpotensi merugikan diri sendiri, karena jika hadir dan membuktikan keaslian ijazah—seperti yang diserahkan ke KPU Pusat dan KPU DKI—gugatan bisa langsung dicabut. “Kami jadi curiga, kemungkinan besar ijazahnya seperti yang diserahkan ke KPU,” tambah Dr. Taufiq.

Penggugat berharap proses mediasi berjalan lancar, meski dikhawatirkan akan panjang akibat absennya tergugat. Hingga berita ini diturunkan, belum ada konfirmasi resmi dari Polri terkait absennya perwakilan mereka. Masyarakat diharapkan dapat menilai sendiri implikasi ketidakhadiran ini terhadap supremasi hukum di Indonesia.

Tinggalkan Komentar