DISETRAP

Pusat Informasi Hukum

Kontroversi Kasus Pemalsuan Akta Notaris: Dark Justice, Yustiana Servanda

Semarang, 14 Oktober 2025 – Sebuah diskusi mendalam di channel Youtube “Salam Akal Waras” mengungkap berbagai kejanggalan dalam kasus hukum yang menjerat notaris Yustiana Servanda dari Demak, Jawa Tengah. Dalam Podcast yang ditengahi oleh Pemilik Akun Youtube Salam Akal Waras Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H., bersama Bapak Habib, Bapak Dr. Muhammad Hafidh, S.H., M.Kn. Dosen Program Studi Kenotariatan Universitas Islam Sultan Agung, Bapak Yustiana Servanda, dan penasihat hukum ibu Evarisan, terungkap dugaan manipulasi bukti dan prosedur yang tidak sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Kasus ini bermula dari tuduhan pemalsuan akta notaris terkait jual beli saham, di mana Servanda divonis pidana 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun oleh Mahkamah Agung. Namun, dalam diskusi ini menyoroti bahwa pelapor tidak hadir di Indonesia pada saat kejadian, yang berpotensi menimbulkan keterangan palsu di bawah sumpah. “Pelapor tidak berada di Indonesia, tapi memberikan keterangan di pengadilan. Ini bisa diancam 7 tahun karena keterangan palsu,” ujar Dr. Taufiq, merujuk pada Pasal 184 KUHAP yang mensyaratkan minimal dua alat bukti sah, seperti keterangan saksi, ahli, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Evarisan, penasihat hukum Servanda, menjelaskan kronologi panjang: perkara bolak-balik hingga 19 kali antara polisi dan jaksa, pernah di-SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) karena kurang bukti, tapi dibuka kembali setelah praperadilan pelapor dikabulkan. “Sebelum P-21, sudah bolak-balik lebih dari 19 kali. SP3 karena tidak ada dua alat bukti, tapi dibuka lagi tanpa pemeriksaan ulang,” kata Risan. Ia juga menyoroti kejanggalan seperti surat dari Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah yang dikirim ke pelapor bukan penyidik, serta penggeledahan kantor notaris tanpa dasar yang jelas.

Habib menekankan syarat sahnya akta notaris berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata, yang mengikat para pihak dan hanya bisa dibatalkan oleh mereka sendiri atau pengadilan perdata. “Akte dibuat atas keinginan para pihak, bukan notaris. Pembatalan harus sepakat atau melalui pengadilan, bukan institusi lain seperti pidana,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa akta autentik memiliki tiga elemen: awal, isi, dan akhir, serta harus dibuktikan kesalahannya secara kumulatif jika dianggap palsu.

Sementara itu, Yustiana Servanda menyatakan dirinya sebagai korban ketidakadilan, di mana pelapor bukan pihak langsung dalam akta tapi justru diuntungkan dari transaksi saham. “Saya hanya menuangkan kehendak para pihak. Pelapor dapat saham, kok malah rugi? Yang mengaku-ngaku sebagai kuasa seharusnya yang dilaporkan,” katanya. Ia berencana mengajukan Peninjauan Kembali (PK) untuk mencari keadilan.

dalam diskusi ini sepakat bahwa kasus ini menunjukkan “dark justice” atau peradilan sesat, di mana perkara perdata dicampuradukkan dengan pidana. Mereka menyarankan langkah seperti eksaminasi putusan, laporan ke Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, dan Badan Pengawas Mahkamah Agung. “Jangan takut melawan ketidakadilan,” Pungkas Dr. Taufiq, merujuk Putusan MK No. 105/PUU-XII/2024 yang melindungi kritik terhadap lembaga hukum.

Diskusi ini menjadi pembelajaran bagi masyarakat tentang pentingnya kepastian hukum di dunia notaris, agar kasus serupa tidak terulang dan menjadi jurisprudensi buruk.

Tinggalkan Komentar