DISETRAP

Pusat Informasi Hukum

Peradilan Sesat Pengadilan Negeri Ambon, Objek Sudah Dieksekusi di Adili Lagi

Semarang, 15 Oktober 2025 – Sebuah kasus sengketa tanah di Pengadilan Negeri (PN) Ambon menuai kecaman keras sebagai bentuk “dark justice” atau peradilan sesat. Putusan PN Ambon Nomor 21/Pdt.G/1950/PN Amb, yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah) sejak 1950 dan dieksekusi pada 6 April 2011, tiba-tiba dibatalkan oleh putusan baru pada 2023. Ahli waris yang merasa dirugikan kini memohon campur tangan Ketua Mahkamah Agung (MA) untuk menyelamatkan marwah hukum.

Dalam podcast “Universitas Akal Waras” Dr. Taufiq selaku pemilik channel youtube kedatangan tamu undangan Elizabeth Tutupary selaku kuasa hukum ahli waris Novita Audi Muskita , mengungkap kronologi ketidakadilan. “Perkara ini sudah inkrah 70 tahun lalu, dieksekusi lengkap dengan berita acara, dan objek tanah sudah ditempati pihak ketiga. Tapi tahun 2023, ahli waris digugat kembali oleh pihak lain yang mengklaim tanah itu milik mereka,” ujar Muskita.

Menurut Muskita, PN Ambon memenangkan penggugat tanpa mempertimbangkan bukti-bukti tergugat, termasuk bantahan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menyatakan bukti penggugat tidak terdaftar. Banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Ambon diputus hanya dalam 27 hari—waktu yang “super spesialis” dan tidak lazim—menguatkan putusan PN. Kasasi ke MA pada 17 September 2025 pun ditolak, meski bukti baru telah diajukan secara terbuka sebelumnya.

“Proses ini melanggar asas nebis in idem (tidak boleh diadili dua kali), sudah kadaluarsa, dan bertentangan dengan Pasal 2 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mensyaratkan putusan berdasarkan ketuhanan Maha Esa,” tegas Taufiq. Ia menyoroti hakim perdata harus “cover both sides” (menimbang kedua pihak secara adil) dan bersikap pasif, bukan memihak kehendak satu pihak. “Ini bukan keadilan prosedural maupun substansial; ini hukuman bagi yang sudah memenangkan haknya,” tambahnya, merujuk kasus serupa seperti notaris Yusuf Sarfanda di Semarang.

Elizabeth Tutupary Kuasa hukum ahli waris, menyatakan kekecewaan mendalam. “Kami sudah lapor ke Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawas MA, tapi jawabannya sama: tidak bisa intervensi amar putusan. Padahal, kami pertanyakan prosedur acara, bukan isi putusan.” Mereka menilai hakim mengabaikan bukti fisik dan patut diduga melanggar asas peradilan sederhana, cepat, dan murah, serta Pasal 29 UUD 1945.

Tim hukum telah menempuh jalur judicial, termasuk speak up publik, tapi belum berhasil. “Kami harap Ketua MA turun tangan, pantau hakim di PN, PT, dan MA untuk perkara ini. Jangan biarkan mafia tanah merampas hak rakyat kecil,” pinta Muskita. Mereka berencana langkah hukum lanjutan, termasuk bukti baru, tapi tetap rahasia untuk saat ini. Podcast ini akan disebar ke TikTok Advokat Progresif, Instagram, dan media online untuk kolaborasi mencari keadilan.

Kasus tersebut Hingga kini, belum ada respons resmi dari MA atau KY terkait pengaduan ini. Ahli waris menegaskan: “Walau langit runtuh, keadilan harus ditegakkan. Jangan biarkan hukum jadi alat mafia.”

Tinggalkan Komentar