
Kudus, 21 Oktober 2025 – Dalam sebuah talkshow di Universitas Muria Kudus (UMK), seorang pakar hukum dan pengacara ternama Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H., menyoroti urgensi pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Acara yang digelar pada jam 2 siang ini dihadiri oleh mahasiswa dan praktisi hukum, dengan pembicara utama yang dikenal sebagai arsitek di balik reformasi KUHP dan KUHAP yakni Prof. Pujiyono dari Universitas Diponegoro
Pembicara, yang juga seorang dosen dan penulis buku hukum, memulai diskusi dengan pantun melayu: “Berguru ke Padang Datar, mendapat rusa belang kaki. Mari kita belajar agar mendapat ilmu di UMK pada sore hari ini.” Ia menekankan bahwa diskusi dapat dikatakan terlambat, karena KUHP baru telah disahkan dan berlaku sejak Januari 2023, sementara RUU KUHAP masih dalam tahap pembahasan. “Hukum material sudah siap, tapi hukum formilnya baru kita bahas sekarang. Kita harus mengawal RUU KUHAP ini,” ujarnya.
Dalam paparannya yang berdurasi sekitar 40 menit, Dr. Taufiq mengkritik kelemahan mendasar dalam sistem peradilan pidana Indonesia saat ini. Ia menyoroti rendahnya kemampuan menulis dan membaca di kalangan mahasiswa hukum, yang menjadi tantangan besar. “Budaya menulis dan membaca harus dimiliki mahasiswa. Buku-buku hukum sekarang diobral murah karena kurang pembeli,” katanya, sambil memperkenalkan buku karyanya seperti “Berperkara di Pengadilan Tanpa Pengacara” dan perbandingan KUHP lama dengan yang baru.

Beberapa poin krusial yang dibahas termasuk transparansi dalam penyusunan RUU KUHAP oleh Komisi 3 DPR, yang dinilai minim partisipasi publik. Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menuntut meaningful participation. “Apakah pembahasan ini sudah memenuhi partisipasi yang bermakna? KUHP kita belum berbasis keadilan,” tegasnya.
Pembicara juga mengkritik praktik presumption of guilt (praduga bersalah) yang sering terjadi, seperti pengumuman tersangka ke publik sebelum proses hukum selesai. Di Pasal 8 RUU KUHAP, ia mengusulkan redaksi yang lebih tegas untuk melarang tindakan yang menimbulkan praduga bersalah, sebagai kebalikan dari presumption of innocence (praduga tak bersalah). “Hukum harus memudahkan, bukan menyulitkan. Yang diproduksi negara sekarang kebanyakan hukuman, bukan hukum,” katanya, memberi contoh seperti anak miskin yang tak bisa ujian karena SPP belum dibayar, atau sistem face recognition PT Kereta Api yang memudahkan akses.
Selain itu, diskusi menyentuh restitusi bagi korban tindak pidana. Pembicara mencontohkan kasus David Ozora, korban penganiayaan yang melibatkan anak pejabat pajak. “RUU KUHAP mengalami kemunduran dibanding PP Nomor 35 Tahun 2020. Tidak ada kompensasi jika pelaku tak mampu bayar restitusi, malah ada pidana penjara pengganti,” kritiknya. Ia menekankan perlunya sinkronisasi antara restitusi, ganti kerugian, dan kompensasi, terutama untuk korban terorisme atau pelanggaran HAM, seperti korban tragedi Kanjuruhan.
Poin lain adalah restoratif justice (keadilan restoratif), yang diatur di Pasal 1 Angka 18 RUU KUHAP sebagai pendekatan melibatkan semua pihak untuk pemulihan. Namun, ia mengkritik pemahaman yang sempit, hanya sebagai penghentian proses hukum formal tanpa dialog substansial. “Restoratif justice bukan hanya soal mengaku salah, tapi proses dialogis,” ujarnya, merujuk disertasinya tentang model penanganan perkara pidana berkeadilan substansial.
Mengenai pra-peradilan, RUU KUHAP memperluas objeknya termasuk penghentian penyelidikan, penyadapan, dan larangan keluar wilayah, yang tidak ada di KUHAP lama (UU Nomor 8 Tahun 1981). “Pra-peradilan diharapkan jadi penyeimbang diskresi penyidik, tapi di praktik sekarang sering jadi formalitas kosong,” katanya. Ia khawatir RUU KUHAP bisa berbenturan dengan KUHP baru dan sering diuji di Mahkamah Konstitusi.
Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H. juga menyoroti potensi penyalahgunaan, seperti Pasal 93 Ayat 5 yang memberi wewenang penangkapan atas alasan mengganggu proses pemeriksaan, serta Pasal 33 yang membatasi peran advokat dalam kasus keamanan negara. “Ini berbahaya, bisa membungkam kritik dan mengarah ke negara kepolisian,” peringatnya. Ia menyerukan harmonisasi KUHAP dengan undang-undang pidana lain, agar menjadi “one for all” mekanisme.
Acara ini diakhiri dengan sesi tanya jawab, di mana pembicara mengajak audiens untuk aktif mengawal reformasi hukum. “Integritas criminal justice system harus dimulai dari penyelidikan hingga persidangan, bukan terpisah seperti sekarang,” pungkasnya. Diskusi ini diharapkan mendorong partisipasi lebih luas dalam pembahasan RUU KUHAP, yang dijadwalkan berlaku efektif per 2 Januari 2026 membersamai KUHP Nasional.
Tinggalkan Komentar