DISETRAP

Pusat Informasi Hukum

Pendapat Mahasiswa Fakultas Hukum Unissula Tentang Hutang Kereta Cepat Whoosh

Semarang, 22 Oktober 2025 — Dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Galih Dwi Suwarno dan Widat, tengah berbincang santai namun serius bersama Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H. mengenai proyek kereta cepat Whoosh. Dalam diskusi tersebut, mereka membedah berbagai persoalan kontroversial yang menyelimuti proyek kebanggaan masa pemerintahan Presiden ke-7, Joko Widodo.

Percakapan bermula ketika Dr. Taufiq melontarkan pertanyaan sederhana “Apa yang kalian ketahui tentang Whoosh?” Galih menjelaskan bahwa proyek Whoosh merupakan proyek besar yang awalnya dikerjakan melalui kerja sama dengan Jepang, namun kemudian dialihkan menjadi proyek bisnis bersama Tiongkok.

“Yang jadi pertanyaan, anggaran proyek ini awalnya sekitar Rp 1,2 triliun, tapi membengkak menjadi lebih dari Rp 50 triliun. Ini sesuatu yang harus dikritisi—kenapa bisa melonjak sedemikian besar, dan apa dasar keputusan tersebut?” ujar Galih. Sementara itu, Widat menyoroti dinamika di level pemerintahan saat proyek berjalan.

“Proyek Whoosh muncul di era Presiden Jokowi, tapi yang menarik adalah pergantian posisi menteri. Awalnya dijabat Sri Mulyani, lalu digantikan oleh Purbaya. Kita perlu bertanya, mengapa Pak Purbaya menolak melunasi proyek ini? Apakah karena memang infrastrukturnya belum siap?” tutur Widat.
Diskusi semakin hangat saat Dr. Taufiq menyinggung soal utang proyek yang mencapai Rp 1,1 triliun, dengan skema saham 60% milik PT KAI dan sisanya oleh PT KCIC.

“Apakah kalian rela jika utang itu akhirnya dicover oleh APBN?” tanya Taufiq. Galih dengan tegas menyatakan ketidaksetujuannya. “Menurut saya, penggunaan APBN untuk membayar utang proyek Whoosh adalah langkah yang tidak tepat. Ini seolah proyek menguntungkan, padahal hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Saya sepakat dengan Pak Purbaya yang menolak pelunasan, karena masih banyak infrastruktur lain yang jauh lebih penting,” ungkapnya.

Dr. Taufiq kemudian menyinggung proyek lain seperti Danatara, yang juga melibatkan BUMN.
“Kalau negara juga harus nombok untuk proyek BUMN seperti Danatara, bagaimana pandangan kalian?” tanyanya. Widat menanggapi dengan lugas. “Proyek besar harus dilakukan dengan perencanaan matang dan tujuan jelas. Jangan sampai APBN dipakai menutupi kekurangan proyek yang belum siap. Perputaran uang rakyat di dalamnya harus sehat. APBN bukan alat untuk menyelamatkan proyek bisnis,” tegasnya.
Menanggapi pertanyaan Dr. Taufiq mengenai kemungkinan adanya unsur korupsi, Galih menilai hal itu mungkin terjadi namun sulit dibuktikan.

“Bisa jadi ada unsur korupsi, hanya saja tidak tampak langsung. Ada uang ‘nganggur’ yang seolah diputar, tapi sebenarnya tidak sehat. Kita juga perlu mempertanyakan kemana keuntungan itu mengalir. Hal ini tidak sejalan dengan semangat Menteri Keuangan untuk memutar dana negara secara produktif,” ujarnya.
“Dalam hukum, korupsi berawal dari niat jahat dan tujuan jahat. Proyek Whoosh menunjukkan adanya kompetisi kepentingan antara Jepang dan Tiongkok, dan kini malah melibatkan uang APBN. Itu sudah menjadi tanda bahwa ada potensi penyimpangan yang perlu ditelusuri,” jelasnya.
Menyoal solusi hukum, Dr. Taufiq menegaskan bahwa proyek kereta cepat tidak perlu dihapus, namun harus dikaji ulang dengan pendekatan rasional.

“Kalau kita ingin terlihat sebagai negara maju, kereta cepat bisa jadi simbol kemajuan. Tapi di era pemerintahan sekarang, perlu dikaji ulang: apakah lebih prioritas memperpanjang jalur Whoosh atau memperbaiki jalur Pantura yang digunakan jutaan rakyat setiap hari? Regulasi dan arah kebijakan harus diperjelas. Uang APBN harus digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan ambisi elit,” tegasnya.
“Saya lebih memilih APBN digunakan untuk memperbaiki jalur Pantura ketimbang membiayai proyek kereta cepat yang manfaatnya belum jelas bagi masyarakat luas.”

Diskusi antara mahasiswa dan dosen hukum Unissula ini memperlihatkan bahwa kesadaran kritis di kalangan mahasiswa hukum semakin berkembang. Mereka tidak hanya memahami aspek normatif hukum, tetapi juga berani mengulas persoalan ekonomi dan kebijakan publik dengan kacamata keadilan sosial.

Bagi Dr. Muhammad Taufiq, momen seperti ini menjadi penting untuk melatih nalar hukum, logika kebijakan, dan moral publik mahasiswa hukum agar kelak mereka tumbuh menjadi profesional hukum yang tidak hanya cerdas, tapi juga berpihak pada kepentingan rakyat.

Tinggalkan Komentar