
Ambon, 27 Oktober 2025 – Sebuah lokasi tanah di Kota Ambon yang telah memiliki putusan inkrah sejak tahun 1950 dan dieksekusi pada 25 April 2011, kini kembali menjadi sorotan setelah muncul putusan baru bernomor 203/PDT.G/2023 di Pengadilan Negeri Ambon. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H. melalui Channel Akal Waras, dalam vlog yang direkam langsung di lokasi sengketa tersebut.
Menurut Dr. Taufiq dari Channel Akal Waras, tanah tersebut merupakan tanah dati atau tanah adat yang telah diputus dalam perkara nomor 21 tahun 1950 dan dinyatakan berkekuatan hukum tetap (inkrah). Eksekusi pada 2011 menyebabkan kepemilikan beralih ke pembeli secara sah. “Secara hukum, ini sudah inkrah. Sangat aneh jika di atas tanah yang sudah berkekuatan hukum tetap sejak 1950 dan dieksekusi 2011, masih ada perkara baru,” ujarnya.
Putusan nomor 203/PDT.G/2023 yang mengabulkan gugatan baru dinilai bertentangan dengan asas ne bis in idem, yaitu larangan mengadili perkara yang sama untuk kedua kalinya. Selain itu, alat bukti yang digunakan dalam putusan 2023 adalah sertifikat Eigendom, padahal tanah tersebut adalah tanah adat (dati), bukan tanah hak Eigendom yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda. “Nomor Eigendom itu tidak dikenal di tanah ini. Secara sejarah dan fakta, ini tidak tepat,” tambahnya.
Lebih lanjut, terdapat laporan pemeriksaan dari Kepolisian Resor Kota Ambon yang menyatakan bahwa alat bukti Eigendom tersebut palsu. “Jika bukti palsu, ini menjadi pidana pemalsuan. Minimal ada dua tersangka: yang menyajikan di persidangan dan yang membuatnya,” tegas narasumber.
Kasus ini juga dikritik karena melanggar prinsip hakim dalam perkara perdata, yaitu hakim harus pasif, independen, imparsial, dan tidak boleh aktif memihak. Putusan 2023 juga diduga melanggar asas ultra petita karena memutus melebihi yang diminta, serta gagal membedakan antara tanah adat dan tanah Eigendom.
Tanah sengketa ini berdekatan dengan Kodim (Korem), yang menunjukkan pemilik sebelumnya memiliki jasa terhadap negara. “Kami khawatir ini menjadi ‘dark justice’ atau peradilan sesat. Perkara inkrah 75 tahun lalu tiba-tiba digugat lagi pada 2023,” katanya.
Channel youtube Akal Waras mendesak Badan Pengawas Mahkamah Agung, Mahkamah Agung (melalui kasasi atau peninjauan kembali), Kejaksaan, dan Kepolisian untuk bertindak. “Hakim harus menjadi yudex yuris (mengadili berdasarkan hukum), bukan yudex facti (memihak fakta salah). Ada pelanggaran hukum acara, manipulasi bukti, etika buruk, dan ketidakcerdasan hakim karena tak bisa bedakan hak adat dengan Eigendom,” pungkasnya.
Ia juga memperingatkan bahaya hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan, yang bisa mendorong street justice (pengadilan jalanan). “Mudah-mudahan hakim di PN Ambon tidak seperti kasus-kasus korupsi hakim di tempat lain. Ini bisa jadi bola salju jika bukti kriminal terbukti.”
Lokasi ini kini menjadi simbol keprihatinan atas kepastian hukum di Ambon. “Tetap jadilah orang cerdas, jernih, jujur, pemberani, dan merdeka,” tutup narasumber dengan salam “Akal Waras” sesuai dengan nama channel youtube nya
Tinggalkan Komentar