Pakar Pidana Dr. Muhammad Taufiq, SH.,M.H. tegaskan Promissory Note Bukan wilayah Pidana

Distrap.com– Perdebatan penapat dan juga retorika hukum bergelut dalam sidang kasus investasi Fikasa Grup yang berlangsung di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Jumat (4/2/2022)

Dalam persidangan tersebut Jaksa mendakwa ‘Empat Salim Bersaudara’ sebagai pemilik dan pengelola Fikasa Grup (PT Wahana Bersama Nusantara dan PT Tiara Global Propertindo) dengan pasal 46 ayat 1 Undang-undang Perbankan, pasal 372 dan pasal 378 KUHPidana. Selain itu, dalam penyidikan kasus ini dikaitkan pula dengan pasal 2,3,4 dan 5 Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Menurut Pakar pidana dari Unissula Dr.MUHAMMAD TAUFIQ, SH.,M.H. yang dihadirkan penasihat hukum para terdakwa saat ditanya soal promissory  note  secara panjang lebar menerangkan. ” Promissory note itu artinya janji yang dicatat ,dia selalu terbit sesudah adanya perjanjian atau kesepakatan. Selama dalam kesepakatan ada kewajiban yang pernah ditunaikan maka itu artinya perjanjian ditepati dan pihak yang membeli promissory note mendapatkan keuntungan”. terang Doktor kesepuluh alumni PDIH FH UNS tersebut. 

Lebih lanjut Taufiq menerangkan. “Orang yang membeli promissory note pasti bukan orang sembarangan, sebab uangnya tidak sedikit bernilai milyaran bahkan ratusan milyar, Kalau kemudian keuntungan di saat pandemi tidak diperoleh, ya namanya resiko bisnis” tutur pakar pidana yang juga seorang youtuber itu.

Sementara, penyidik mengonstruksikan tindak pidana asalnya (predicate offence) dari tindak pidana perbankan sebagaimana dalam dakwaan pasal 46 ayat 1 Undang-undang Perbankan dan pasal 372 serta pasal 378 KUHPidana yang dimana itu tidak dapat ditemukan sehingga tidak ada harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana atau tidak terjadi tindak pidana pencucian uang.

Kedua saksi tersebut bernama Riki dan Bambang.Riki ikut sebagai nasabah Fikasa Grup sejak 2015.Hingga Maret 2020, ia masih rutin menerima bunga dari investasi tersebut. 

Namun, sejak April 2020 pasca-kasus pandemi Covid-19 merebak luas, Riki tak pernah lagi mendapatkan bunga. Pokok investasinya pun masih tertahan.

Sementara, saksi Bambang ikut dalam program investasi Fikasa Grup sejak 2011 hingga 2016 lalu. Selama itu, ia selalu mendapat imbalan bunga 11 persen setahun. Namun, sejak 2016, ia tidak lagi ikut program investasi tersebut karena dananya diambil untuk bisnisnya pribadi.

Pihak orangtua Bambang sampai saat ini masih menjadi nasabah Fikasa Grup. Total uang investasi orangtuanya mencapai Rp 2 miliar yang sejak April 2020 lalu belum dikembalikan dan tidak mendapat bunga uang “Sebelumnya orangtua saya menerima bunga dengan lancar. Namun sejak Covid-19 makin parah, tidak pernah lagi ada penerimaan bunga dan uang pokok investasi,” kata Bambang.

Perkara ini mendudukkan lima terdakwa sebagai pesakitan hukum. Yakni terdiri dari ‘Empat Salim Bersaudara’ yang merupakan pemilik serta pengurus langsung perusahaan yang kerap disebut dengan Fikasa Grup. Keempat orang terdakwa tersebut yakni Bhakti Salim alias Bhakti yang merupakan Direktur Utama PT Wahana Bersama Nusantara sekaligus juga Direktur Utama PT Tiara Global Propertindo, Terdakwa Agung Salim alias Agung sebagai Komisaris Utama PT Wahana Bersama Nusantara dan Terdakwa ketiga yakni Elly Salim alias Elly selaku Direktur PT Wahana Bersama Nusantara sekaligus Komisaris PT Tiara Global Propertindo. Seorang terdakwa lain dari keluarga Salim yakni Christian Salim selaku Direktur PT Tiara Global Propertindo.

Terdakwa kelima bernama Mariyani merupakan manajer marketing kedua perusahaan yang menghimpun dana lewat skema modus promissory note (surat sanggup bayar) yang diduga kuat tidak memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia. Berkas perkara penuntutan Mariyani terpisah dengan 4 Salim Bersaudara.

Dari Surat dakwaan jaksa penuntut menyebut bahwasanya uang investasi yang dikumpulkan masuk ke dalam sejumlah perusahaan lain yang tergabung dalam Fikasa Grup. Para korban tergiur dengan janji bunga investasi tinggi di atas rata-rata perbankan.

Kelima terdakwa didakwa telah merugikan sebesar Rp 84,9 miliar yang uangnya bersumber dari sebanyak 10 orang miliuner asal Pekanbaru.Mereka dihadirkan langsung secara fisik oleh jaksa penuntut. Berbeda dengan persidangan kasus lainnya, di mana para terdakwa hanya mengikuti sidang secara online alias sidang virtual.

Perkara ini menjerat para terdakwa dengan tiga dakwaan berlapis yakni dakwaan pasal 46 ayat 1 Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Adapun ancaman hukumannya yakni sekurang-kurangnya 5 tahun dan paling lama 15 tahun penjara serta  denda sekurang-kurangnya Rp 10 miliar dan paling banyak Rp 200 miliar.

Dakwaan kedua yakni pasal 378 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Sementara dakwaan ketiga yakni pasal 372 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHPidana.

Tinggalkan Komentar