
Boyolali, 9 November 2025 – Seorang pakar hukum pidana, Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H. menyindir keras apa yang disebutnya sebagai “disparitas pidana” dalam penanganan kasus pemalsuan ijazah di Indonesia. Dalam video yang direkam di kawasan sekitaran Tol Banyudono, Boyolali, Jawa Tengah, Dr. Taufiq yang merupakan bagian dari tim penelitian hukum menyoroti perbedaan perlakuan antara kasus pelawak senior Nurul Qomar pada 2017 dan tuduhan ijazah palsu terkait mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) belakangan ini.
Disparitas pidana, menurutnya yang menyapa audiensnya dengan “Salam Akal Waras” di channel youtube Akal Waras Channel, merujuk pada perbedaan perlakuan terhadap perkara serupa. “Jadi perkara sama, perlakuannya beda,” ujarnya, merujuk pada kasus Nurul Qomar yang divonis 17 bulan penjara karena menggunakan surat keterangan lulus (SKL) palsu saat mencalonkan diri sebagai rektor Universitas Muhadi Setia Budi, Brebes, Jawa Tengah. 6 Qomar, yang juga mantan anggota DPR, ditahan polisi pada 2019 setelah laporan masyarakat ditindaklanjuti dengan asas presumption of guilt (praduga bersalah), di mana polisi langsung menduga adanya kejahatan dan menyelidiki tersangka.
Sebaliknya, dalam kasus tuduhan ijazah palsu terhadap Jokowi—yang hingga kini belum pernah ditangani secara publik kecuali oleh pendukungnya atau aparat seperti Polda—pelapor justru yang berujung jadi tersangka. Pembicara menyinggung penetapan Roy Suryo, Rismon Sianipar, Dokter Tifa, serta Hesiwulan Sianipar sebagai tersangka atas dugaan penyebaran berita bohong dan fitnah melalui Pasal 310-311 KUHP serta UU ITE. 1 “Yang diteliti sebagai orang jahat itu justru penelitinya. Ini namanya bahwa Pak Jokowi terkena asas presumption of innocence (praduga tak bersalah),” kritiknya, menambahkan bahwa asas ini seharusnya hanya berlaku di pengadilan, bukan sejak tahap penyidikan.
Menurutnya, kasus ini mencerminkan pembalikan prinsip hukum pidana. “Biasa orang tidak berani melapor, karena pelaporannya dihentikan, justru pelaporan yang ditersangkakan. Ini yang baru, ini nyata hanya ada di Indonesia,” tegas pembicara, yang mengaku tidak bermaksud menjelekkan polisi. Ia menekankan bahwa dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP), presumption of guilt seharusnya berlaku pada pelaku diduga, bukan pelapor. Pembicara juga mengungkapkan telah bergabung dalam tim penelitian hukum beranggotakan 11 orang untuk mendukung Roy Suryo dkk., dengan harapan perkara ini bergulir ke pengadilan. “Insyaallah kita akan set, dan saya berharap perkara ini bergulir ke pengadilan,” katanya, meski khawatir ada “skenario lain” seperti pencabutan laporan atau intervensi pihak ketiga.
Kasus disparitas ini juga dikaitkan dengan pernyataan Prof. Dr. Suteki, guru besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, yang sekitar 2-3 tahun lalu menyarankan pembubaran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi karena dianggap tak berguna. Dr. Taufiq memperingatkan adanya “anomali” jika persidangan tak terjadi, mengingat para tersangka memiliki penelitian dan saksi ahli, termasuk Bonatua Silalahi. “Kekuatan pembuktian, sebagaimana diatur di Pasal 185 KUHAP, bukti yang paling kuat itu adalah bukti yang saksi ahli atau terdakwa terangkan di depan sidang,” jelasnya.
Isu Perda Bali: Diskriminasi terhadap Ojol Migran?
Selain isu utama, Dr. Taufiq yang juga merupakan dosen FH Unissula juga menanggapi “titipan tema” dari seorang kawan di Bali terkait Peraturan Daerah (Perda) yang mewajibkan driver ojek online (ojol) harus ber-KTP Bali. Ia menolak keras kebijakan ini, menyebutnya bertentangan dengan Undang-Undang Antidiskriminasi dan asas hukum nasional. “KTP itu nasional, berlaku seumur hidup. Hukum nasional itu mengandung asas nasional aktif. Jadi KTP dimanapun berlaku KTP Indonesia,” tegasnya.
Dr. Taufiq mencontohkan absurditas kebijakan serupa, seperti larangan menjual janur atau pelepah kelapa ke Bali, atau membatasi pedagang bakmi Jawa hanya untuk warga lokal. “Di Jawa ini terkenal bakmi Jowo. Tetapi ada orang Madura jualan bakmi. Lah masa kita larang?” candanya. Ia menambahkan bahwa Perda semacam itu harus mendapat pengesahan Menteri Dalam Negeri, dan berpotensi memicu disintegrasi nasional. “Yang lebih penting di Bali, jangan sampai pantai-pantai kalian itu menjadi eksklusif miliknya orang asing, miliknya pengusaha hotel,” pesannya.
Kasus ijazah palsu Qomar menjadi sorotan pada 2019-2020, di mana ia divonis 2 tahun penjara setelah menggunakan SKL palsu untuk syarat jabatan. 2 Sementara itu, tuduhan ijazah palsu Jokowi muncul berulang sejak 2022, tapi justru memicu kasus balik terhadap para pengkritiknya, seperti Roy Suryo yang baru saja dieksekusi penetapannya sebagai tersangka. 4 Hingga kini, polisi belum mengumumkan perkembangan substansial terhadap tuduhan asli.
Tinggalkan Komentar