DISETRAP

Pusat Informasi Hukum

PENDUKUNG ROY SURYO CS PADATI PN SURAKARTA PENGACARA JOKOWI TAK NAMPAK

Surakarta, 11 November 2025 – Penggugat dalam perkara gugatan pembuktian keaslian ijazah mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyuarakan keprihatinan mendalam atas eskalasi penegakan hukum yang dianggap kriminalisasi tanpa dasar pembuktian yang jelas. Pernyataan ini disampaikan di tengah agenda sidang gugatan warga negara (CLS) hari ini , di mana kami para Penggguat menunggu jawaban dari para tergugat dan turut tergugat belum juga di-upload hingga batas waktu maksimal pukul 14.00 WIB.

dalam pernyataannya, Andhika dkk Tim AKUWI bersama Aliansi Sekber, penggugat menyoroti penetapan Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Dokter Tifa sebagai tersangka oleh kepolisian terkait isu ijazah palsu. “Gugatan hari ini salah satunya adalah pembuktian ijazah itu asli atau palsu,” ujar Andhika, menambahkan bahwa berbagai ahli hukum seperti Prof. Mahfud MD dan Prof. Jimli bersikap bahwa pengadilan negeri wajib membuktikan keaslian dokumen tersebut terlebih dahulu sebelum ada langkah pidana.

Penggugat mengungkapkan bahwa upaya mediasi kemarin gagal karena para tergugat tetap menolak fasilitasi mediator. Sementara itu, Roy Suryo dan kawan-kawannya justru ditetapkan sebagai tersangka langsung tanpa proses verifikasi. Hal ini memicu kekhawatiran bahwa negara gagal melindungi warga negaranya dan hukum tidak lagi tegak. “Kita harus berharap kepada siapa? Kepada Presiden Prabowo? Mungkin, karena hari ini sudah membentuk tim reformasi Polri. Tapi bagaimana mungkin kami percaya? Tim yang dibentuk untuk mereformasi Polri justru memasukkan orang yang mau direformasi. Ini kan lelucon,” tegas Andhika.

Suara ini, menurutnya, mewakili masyarakat luas, termasuk pemerhati isu ijazah dari berbagai kelompok masyarakat di seluruh Indonesia, mulai dari Solo sebagai titik awal yang diliput media. “Kami tidak peduli dari kelompok mana atau organisasi apapun. Yang penting masalah ijazah ini harus terang dan disuarakan di seluruh Indonesia,” katanya, menekankan penolakan terhadap kriminalisasi yang dianggap tidak berdasar.

Penggugat juga menyoroti ketidaksesuaian prosedur penyitaan ijazah oleh Polda Metro Jaya dan sempat ditunjukkan di Polresta Surakarta, di mana kelompok Projo diklaim menunjukkan ijazah asli. “Itu tidak sesuai dengan KUHAP. Ini hukum, bukan bisa dipermainkan seperti itu,” ujarnya. Lebih lanjut, ancaman penahanan terhadap para peneliti dinilai tidak beralasan, mengingat pasal yang digunakan—pencemaran nama baik—hanya berpotensi hukuman maksimal satu tahun, yang tidak mengharuskan penahanan. Sementara itu, tuduhan fitnah harus dibuktikan terlebih dahulu apakah pernyataan tersebut benar atau salah.

Kritik tajam juga dilayangkan terhadap penyelipan pasal Undang-Undang ITE, khususnya Pasal 35 dengan ancaman hukuman delapan tahun, yang mengatur modifikasi dokumen elektronik. Penggugat mempertanyakan relevansinya dengan kasus ini: “Apakah ketika Roy Suryo dan kawan-kawan download ijazah yang di-upload Dian Sandi Permanah, lalu dilingkari dan dianalisis, itu dianggap kejahatan? Padahal amanat UU ITE Pasal 35 itu seperti edit bukti transfer uang palsu, misalnya transfer Rp500.000 diubah jadi Rp10.000.000.”

Penggugat menegaskan bahwa perhatian utama tertuju pada pihak kepolisian, meski menekankan bahwa “polisi adalah lembaga yang tidak mungkin berbuat jahat, tapi oknum-oknumnya lah yang jahat.” Terkait persidangan, meski para tergugat menginginkan mode hybrid (online), penggugat bersikukuh meminta offline demi keterbukaan kepada masyarakat. “Walaupun jawaban gugatan para tergugat di-upload jam 2, kami tetap akan bersidang dan menyuarakan hasilnya seperti apa,” pungkasnya.

Tinggalkan Komentar