
Jakarta, 4 Oktober 2025 – Sebuah diskusi hangat di kantor Muhammad Taufik and Partners (MTP) membahas perkembangan terbaru seputar kontroversi ijazah mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Para pembicara, termasuk pakar telematika Roy Suryo, ahli hukum tata negara Refly Harun, dan analis neuropolitika Tifa, menyatakan bahwa ijazah yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk Pilpres 2019 identik dengan versi yang selama ini mereka tuding palsu. Diskusi ini, yang dipandu Refly Harun, menyoroti implikasi hukum dan politik yang potensial membalikkan situasi bagi Jokowi dan pendukungnya.
Dalam acara yang digambarkan sebagai “hari istimewa” di kantor MTP, Refly Harun membuka pembicaraan dengan mengapresiasi tuan rumah, Dr. Muhammad Taufiq, yang disebutnya sebagai “bro Taufiq” untuk kesan muda. Dr. Taufiq, seorang pengacara, menekankan bahwa rilis ijazah oleh KPU pada 2 Oktober 2025 merupakan “blessing in disguise” atau rahmat tersembunyi. Menurutnya, ini membuktikan bahwa ijazah yang diunggah aktivis Dian Sandi pada 1 April 2025—yang telah ditonton 7,9 juta kali—adalah versi yang sama dengan yang digunakan Jokowi untuk mendaftar sebagai calon presiden.
“KPU telah menunjukkan ijazah yang selama ini diributkan, yang ada kacamatanya,” ujar Refly Harun, merujuk pada ciri khas ijazah yang menjadi sorotan. Taufiq menambahkan analisis hukum pidana: untuk menetapkan tersangka, diperlukan niat jahat (mens rea) dan perbuatan (actus reus). Ia menilai, dengan bukti dari KPU, pihak yang sebelumnya melaporkan para kritikus seperti Roy Suryo sebagai penyebar hoaks kini berpotensi menjadi terdakwa. “Ini seperti total football, semua akan digulung: tim sukses Jokowi, akademisi UGM, hingga rektorat,” kata Taufiq, menyebut nama seperti Anggit Nugroho, Eko Sulistyo, dan Sylvester Matutina sebagai pihak yang berpotensi terlibat.
Roy Suryo, yang konsisten disebut “Mas Roy” oleh rekan-rekannya, mempertanggungjawabkan klaim bahwa ijazah tersebut 99,9% palsu berdasarkan analisis dalam buku yang ditulis bersama Rismon dan Tifa. “Kami lakukan uji Error Level Analysis (ELA), dan itu tidak identik dengan ijazah asli milik alumni UGM lain seperti Frono Jiwo atau Hari Mulyono,” jelas Roy. Ia menolak kritik bahwa ELA hanya untuk digital, dengan menganalogikan kasus foto analog Abdurrahman Wahid yang dianalisis secara digital. Roy juga mengkritik penutupan sebagian ijazah oleh KPU, seperti nomor seri dan tanda tangan dekan, yang menurutnya aneh dan perlu dipertanyakan melalui uji konsekuensi.
Diskusi menyentuh skenario jika ijazah dari pendaftaran lain—sebagai wali kota Solo (2005), gubernur DKI Jakarta (2012), dan presiden 2014—ternyata berbeda. “Jika berbeda-beda, itu membuktikan pemalsuan oleh pengguna ijazah,” tegas Roy, menambahkan bahwa timnya telah melihat salinan 2014 dan akan membandingkan secara resmi. Taufiq menyebut ini sebagai “bola salju” yang akan melibatkan KPU daerah dan universitas.
Dr. Tifa, yang menambahkan perspektif neuropolitika, menggambarkan situasi sebagai “deja vu” mirip peristiwa 22 Mei 2020. Ia menyiratkan perubahan sikap signifikan di kalangan pendukung Jokowi, di mana bukti KPU membalikkan narasi. “Ini akan membuka kotak Pandora kebusukan,” tambah Roy, merujuk pada konferensi pers baru-baru ini oleh kelompok pendukung Jokowi yang disebutnya “ODGJ” (Orang Dengan Gangguan Jiwa), yang mengancam demo telanjang—potensi pelanggaran UU Pornografi Nomor 44 Tahun 2008.
Para pembicara menyerukan transparansi lebih lanjut dari KPU dan institusi terkait, termasuk Komisi Informasi Jawa Tengah. Mereka optimistis bahwa kasus ini tidak akan berujung penangkapan terhadap mereka, karena didasari bukti ilmiah. “Polisi berhitung, lawan mereka bukan orang cemen,” pungkas Taufiq.
Kontroversi ini terus bergulir sejak April 2025, dengan Mabes Polri menyelidiki laporan Jokowi pada 30 April terkait penghinaan. Namun, para kritikus yakin bukti baru akan membalikkan arah penyelidikan. Hingga kini, Jokowi maupun KPU belum memberikan tanggapan resmi atas diskusi ini.
Tinggalkan Komentar