Disetrap.com- Persoalan utama dinegara kita kaitannya dengan disparitas pidana itu ada dua hal. Yang pertama, politik hukum. Politik hukum dari pemerintah ini tidak menjadikan dirinya sebagai penegak hukum, tapi sebagai penguasa. Itu dimulai dengan diksi, yaitu kalimat yang diucapkan Presiden Jokowi bahwa negara tidak boleh kalah dengan warga negara.
Itu diksi yang salah dan akhirnya diterjemahkan kemana-mana. Muncullah pasukan Koopsus ke Petamburan, penangkapan tokoh-tokoh politik yang berseberangan. Itu karena memakai diksi negara tidak boleh kalah dengan warga negara. Padahal tidak, Negara yang bagus itu sama kedudukannya di depan hukum dan di dalam pemerintahan (equality before the law).
Artinya, kalau negara salah bisa digugat. Makanya disediakan dalam pidana itu pasal-pasal pra peradilan. Di dalam administrasi disediakan hukum Tata Usaha Negara (TUN). Itu kan, kalau negara salah maka dibentuklah peradilan tata usaha negara.
Jadi, pernyataan yang mengatakan negara tidak boleh kalah itu sudah menandakan kalau dia tidak paham hukum. Itu bukan negara hukum. Dan dia tidak memposisikan sebagai pemerintah, tetapi penguasa. Itu kesalahan pertama.
Kesalahan kedua, bahwa negara ini tidak paham apa yang dimaksudkan sebagai negara hukum. Negara hukum itu dalam menegakkan hukum harus berpedoman azas-azas salah satunya adalah adalah “due prosess of law”. Apa itu? Menegakkan hukum dengan cara yang tidak boleh melanggar hukum.
Maksudnya, ketika penguasa itu mengatakan seseorang itu salah, maka orang yang dinyatakan salah itu tidak boleh dilanggar haknya. Didampingi dengan penasehat hukum, diperiksa dengan cara yang patut, diperiksa dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggung-jawabkan, diperiksa dengan mekanisme sistem peradilan pidana. Bukan diinjak-injak, kemudian ditembak mati, lalu kemudian dinyatakan teroris.
Yang terjadi di Indonesia seperti itu. Oleh karena itu, praktek disparitas itu sebenarnya disebabkan karena kemauan politik. Yang kedua karena tidak paham hukum. Dan ini bisa kita lihat, hampir semua yang ditangkap adalah yang beroposisi atau yang berbeda pendapat.
Nah sementara perbuatan materiil yang sama dilakukan oleh buzzer yang dipelihara oleh negara seperti Ade Armando, Deny Siregar, Permadi Arya, dan lain-lain. Itu tidak pernah disentuh oleh hukum. Ini yang menyebabkan terjadinya disparitas.
Oleh karena itu sebaiknya pemerintah ini meluruskan dirinya sebagai pemerintah, bukan penguasa. Itu pendapat saya.[]