MK TOLAK PERMOHONAN UJI MATERI UU PENYIARAN OLEH MNC GROUP, NETFLIX DAN YOUTUBE BEBAS DARI UU PENYIARAN

Disetrap.com– Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK No. 39 /PUU-XVIII/2020 telah  menolak uji materi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) yang dimohonkan oleh PT Visi Citra Mitra Mulia (iNews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang tergabung dalam MNC GROUP, pada Kamis (14/01/2021). 

Diketahui  keduanya mempermasalahkan bunyi Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran yang menyebutkan :

“Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran”

Pada pokoknya, pemohon merasa pasal tersebut harus diubah atau diganti karena bersifat multitasfir. Pemohon meminta agar semua layanan siaran berbasis internet  tunduk pada UU Penyiaran agar tidak ada perlakuan berbeda antar kedua layanan. Contoh layanan siaran berbasis internet yang dimaksudkan tidak hanya terbatas pada Youtube dan Netflix melainkan siaran live di media sosial juga termasuk dalam kategori ini.

Menurut Pemohon “bahwa layanan siaran berbasis internet memiliki unsur yang sama dengan unsur penyiaran pada lembaga penyiaran konvensional misalnya dari segi gambar, suara, grafis, karakter, dan lain-lain. Perbedaannya hanya dari segi metode pemancarluasan saja dimana lembaga penyiaran konvensional menggunakan spektrum frekuensi radio sedangkan OTT (layanan Over-The-Top) menggunakan internet sehingga menurut pemohon sudah sepatutnya layanan siaran berbasis internet tersebut masuk ke dalam cakupan UU Penyiaran.” MNC GROUP dikutip dalam permohonannya. (20/01/2021).

Uji materil yang sempat membuat ‘geger’ masyarakat ini pada akhirnya mendapat penolakan oleh Mahkamah Konstitusi dengan dasar pokok permohonan para pemohon tidak beralasan hukum. Majelis Hakim menilai bahwa dengan dimasukkannya layanan berbasis internet dalam cakupan pengaturan UU Penyiaran justru akan menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum. Terlebih layanan OTT pada prinsipnya berbeda dengan penyelenggaraan penyiaran yang konvensional. 

Lebih lanjutnya hakim konstitusi Enny Nurbaningsih menyebut bahwa penegakan hukum atas pelanggaran konten layanan OTT telah dicakup  dalam UU ITE  dan berbagai undang undang sektoral lainnya, misalnya UU ITE, UU Telekomunikasi, UU Pornografi, dll.[]

Tinggalkan Komentar