Disetrap.com- Peneliti senior pada Judicial Corruption Watch (JCW) yakni Dr.Muhammad Taufiq, S.H.,M.H yang juga merupakan seorang ahli pidana dalam kesempatan wawancara dengan Radio Bravos pada hari Kamis (21/01/2021), menyampaikan pendapatnya mengenai Gus Nur yang tidak akan mengajukan eksepsi dalam sidang perkaranya pada pekan depan.
Melalui Penasehat Hukum Gus Nur, Eggi Sudjana menyampaikan jika Gus Nur mengajukan eksepsi besar kemungkinan tidak akan menjadi pertimbangan hakim, sehingga lebih baik langsung kepada pokok perkara.
Dalam wawancaranya bersama Radio Bravos tersebut Dr. M Taufiq menyebutkan alasan mengapa Gus Nur melalui Tim Penasehat Hukumnya yang dipimpin oleh Eggy Sudjana tidak melakukan eksepsi.
“Kenapa tim Penasehat Hukum Gus Nur tidak mengajukan eksepsi? Gus Nur tidak menyampaikan eksepsi dengan alasan bahwa dalam integrated criminal justice system yakni kepolisian, jaksa , dan hakim dinilainya sudah menjadi bagian yang memperburuk Gus Nur. Di dalam sisi tertentu, eksepsi sifatnya tidak wajib boleh dilakukan atau tidak. Dimana apabila situasi politik tidak menguntungkan maka ekspesi hampir pasti tidak dijalankan karena di dalam sistim peradilan pidana yang mana polisi, jaksa, dan hakim itu menjadi sebuah kesatuan. Padahal harusnya mereka berbeda, dimana polisi membuat terang suatu tindak pidana, jaksa merangkai dan menuntut seseorang, sedangkan hakim harus independen karena hakim mengadili terdakwa. Kalau kebetulan terdakwa berseberangan ideologi politiknya, sistim peradilan pidana akan mengeroyoknya. Oleh karena itu apapun yang dilakukan dengan ekspesi hanyalah wasting time, dan dianggap membuang waktu. “ jelas M Taufiq saat wawancara dengan Bravos melalui siaran online (21/01/2021)
Diketahui Eggi sudjana selaku Tim Penasehat Gus Nur mengatakan oleh karena itu bahwa dalam posisi seperti ini polisi, jaksa dan hakim, mengeroyoknya, sehingga Gus Nur tidak mengajukan eksepsi.
Menanggapi langkah yang akan diambil Gus Nur tersebut menurut saya “eksepsi memang senjata atau hak istimewa yang dimiliki oleh terdakwa atau Penasehat hukumnya. Karena di dalam eksepsi terdapat 3 alasan, kurang cermat, tidak lengkap, atau tidak tepat bahwa orang yang didakwakan adalah itu. Sebenarnya itu sangat eksepsiil. Tetapi berbeda ketika di dalam perkara Gus Nur yang dari awal memang lebih banyak kepada tekanan politik. Contoh misalnya UU ITE, sebenarnya delik aduan, tidak bisa ditangkap serta merta. Karena delik aduan itu : pertama, orang itu harus ada yang melapor, dua: yang melapor harus memiliki legal standing atau memiliki hubungan atau tidak, yang ketiga: bahwa ia dirugikan atau tidak terhadap peristiwa tersebut. Karena dalam UU nya yang bersumber pada Pasal 310 KUHP, sifatnya adalah delik aduan. Apabila ada yang melapor maka Negara akan mengambil alih” tuturnya.
M Taufiq melanjutkan bahwa penyidikan yang benar adalah penyidikan yang dilakukan melalui panggilan, ditanya data-data dan saksi yang meringankan.
“Saya merasa kaget ketika di telefon anaknya mengabarkan Gus Nur ditangkap dini hari kemudian digeledah dirumahnya. Penyidikan yang benar adalah dilakukan panggilan, ditanya data-data dan saksi yang meringankan, saksi yang meringankan tidak hanya dapat dihadirkan dalam persidangan, di dalam kepolisian dan kejaksaanpun saksi yang meringankan dapat dihadirkan. Tapi belum sampai dengan tahap itu Gus Nur sudah di tangkap” ungkapnya.
“Bahwa hak terdakwa di atur dalam Pasal 56 sampai dengan 72 KUHP yang artinya, sebenarnya terdakwa dapat berinteraksi, berkomunikasi bahkan menerima dan menulis surat. Namun menurut informasi yang saya ikuti, hak-hak sebagai terdakwa malah tidak pernah diberikan. Keluargapun belum pernah bisa menjenguk. Bagi saya seorang ahli pidana ini merupakan pelanggaran HAM berat. Karena inti dari pelanggaran adalah keadilan. Kalau hal-hal yang bersifat eksepsial saja tidak bisa diberikan dan dipenuhi dan kemudian orang dengan ancaman hukuman penjara di atas 5 tahun tidak didampingi Penasehat Hukum menurut saya sudah cacat formil. Sehingga tanggapan saya terhadap langkah eggi sudjana sudah tepat, karena Negara tidak menghormati hak tersangka, dan terdakwa.” Pungkas M Taufiq dalam wawancaranya, Kamis (21/01/2021)
“Peristiwa Gus Nur ini adalah peristiwa yang disebut otokritik, Pasal 28 ayat nya jelas disebutkan bahwa kemerdekaan, berkumpul, berserikat, menyatakan pendapat, itu tidak dilarang. Sebaliknya kita menanyakan legal standing pelapor, padahal yang dilaporkan adalah tubuhnya sendiri. Dan Gus Nur membuktikan bahwa dirinya adalah orang NU. Sebenernya itu masuk dalam bagian otokritik yakni mengkritik bagian diri sendiri mestinya diterima sebagai sebuah masukan. Bahwa seharusnya apabila Gus Nur mengkritik itu diterima, karena Gus Nur memposisikan orang NU, Gus Nur orang NU oposisi loyal. Dari segi hukum acaranya menurut saya pelapor adalah tidak tepat, dan apa yang dipersangkakan bahwa dia menghina, bahwa dia juga orang NU. Dia lebih tepat menyebutnya otokritik” beber M Taufiq.
M Tafiq sangat berharap dalam kasus ini penegak hukum terutama hakim masih banyak yang berpaham progresif, yakni hakim yang berhukum diluar kitab undang-undang, hakim yang berhukum diluar KUHP, hakim yang berhukum diluar UU ITE, karena dibanyak kesempatan hakim boleh menemukan hukum atau undang-undang.
Ia juga mengatakan bahwa dirinya siap apabila nanti dipanggil untuk dimintai kesaksianya sebagai saksi ahli dalam proses persidangan Gus Nur.
‘’Apabila nanti ketika dalam proses persidangan saya diminta hadir untuk memberikan keterangan saya siap karna saya juga pernah menerbitkan buku tentang UU ITE” pungkas M Taufiq.[]