Disetrap.com- PKAD atau Pusat Kajian dan Analisis Data pada Sabtu (19/08/2022) mengangkat tema dan membahas terkait kasus yang menyeret Jenderal bintang 2 (dua) Kadiv Propam Polri yakni Jenderal Ferdi Sambo atas dugaan pembunuhan berencana yang terjadi di rumah dinas Kadiv Propam Polri di Kompleks Polri, Duren Tigas, Jaksel pada hari Jumat (08/07/2022) bulan lalu.
Informasi terbaru Putri Candrawati yang merupakan istri FS juga ditetapkan menjadi tersangka setelah adanya 3 (tiga) kali pemeriksaan, selain Putri Candrawati 3 (tiga) orang lain juga telah ditetapkan sebagai tersangka dan telah dilakukan gelar perkara untuk kemudian berkas-berkas tersebut dilimpahkan ke Kejaksaan Agung.
Sejauh ini, terdapat 83 anggota kepolisian yang telah diperiksa oleh tim khusus dan penyidik kepolian dan dari 83 anggota kepolisian tersebut terdapat 35 anggota kepolisian yang ditempat khususkan.
Dalam pemeriksaan tersebut telah ditemukan 4 barang bukti dan 16 saksi, dan dalam perkembangan kasus tersebut berencana memanggil 3 Kapolda diantara Inspektur Jenderal Fadhil Imran.
Menurut Ketua KPAU (Koalisi Persaudaraan dan Advokasi Umat) Ahmad Khozinuddin SH menyebutkan bahwa Obstruction of Justice adadalah tindakan untuk menghalangi proses hukum hal mana terkait kasus tersebut terdapat 3 tindakan institusi polri yang saat ini masih dilakukan pemeriksaan.
“Tindakan-tindakan institusi polri terebut seperti : Pertama, adanyapenghalangan penyidikan; Kedua, penghilangan atau perusakan barang bukti; dan Ketiga, pencurian cctv” ungkap Ahmad Khozinuddin SH saat diwawancarai oleh PKAD, Sabtu (19/08/2022)
Ia juga menyebutkan bahwa tindakan institusi polri tersebut termasuk dalam tindak pidana sesuai pasal umum yang ancaman pidananya lebih tinggi dan bisa dilakukan penahanan yang kemudian termasuk dalam klasifikasi Obstruction Of Justice.
“Bahwa tindakan membersihkan tkp, merusak barang bukti, menghilangkan barang bukti, mencuri menyebar berita kebohongan, memberikan keterangan palsu termasuk dalam kategori pidana umum dan harus diproses dan masuk dalam klasifikasi Obstruction Of Justice (yang melakukan tindak pidana), dan harus ada proses penyidikan” imbuh Ahmad Khozinuddin.
Menanggapi pernyataan Mahfud MF terkait pelanggaran kode etik tidak perlu dijatuhi sanksi pidana menurut Dr Muhammad Taufiq SH MH selaku Presiden Asosiasi Ahli Pidana Indonesia (AAPI) dan Direktur Pusat Studi Analisa Kepolisian menyebutkan bahwa adanya pelanggar kode etik justru proses awal untuk mencopot/memecat pekerjaan seseorang.
“Jangan terlalu puas dengan pernyataan timsus, meski FS dan PC dijatuhi pasal yang sama yakni dengan ancaman hukuman pidana mati. Akan tetapi karena sistem peradilan hukum negara Indonesia selain polisi, ada jaksa, dan hakim yang masuk dalam kategori “the ugly”. Yang harus kita kritisi adalah apakah kedepan pasal tersebut bergeser atau tidak” ungkap Dr M Taufiq.
Yang ditakutkan oleh M Taufiq, meski saat ini telah ditetapkan beberapa tersangka dari 83 orang yang telah diperiksa, ahli pidana tersebut meyakini dalam proses pidana kedepan akan ada upaya menghalang-halangi pemeriksaan dengan penyuapan.
“Bahwa Obstruction Of Justice hukumannya ringan di bawah 1 (satu) tahun penjara, akan tetapi apabila kedepan ada penyuapan kepada KPK yang bernotabene berasal dari kepolisian maka harus ditindaklanjuti dengan pasal pidana umum yang ancaman pidananya berat yakni Pasal 21 UUD Tipikor, menghalangi penyidikan maka ancamannya 12 tahun pidana karena disitu ada sejumlah uang yang disuapkan”beber M Taufiq.
M Taufiq berharap sidang perkara FS serta motif melakukan tindak pidana tersebut dapat dilaksanakan secara terbuka.
“Saya berharap sidang perkara FS serta motif pelaku melakukan tindak pidana tersebut dapat digelar secara terbuka, karena hanya terdapat 3 (tiga) persidangan yang tidak boleh dibuka untuk umum yakni Pertama, Tindak Pidana Asusila; Kedua, Peradilan Anak, Ketiga, Perceraian. Sementara untuk pidana umum tidak berlaku sidang tertutup untuk umum” pungkas M Taufiq.[][][]