Disetrap.com – Menjelang akhir masa jabatan, DPR diam-diam mengusulkan revisi UU KPK dalam rapat paripurna. Badan Legislasi (Baleg) DPR secara tiba-tiba mengusulkan kembali revisi UU KPK yang kemudian disepakati dalam rapat paripurna.
Masa jabatan DPR 2014-2019 yang hanya tersisa satu bulan tetap bersikukuh akan menyelesaikan revisi UU KPK agar bisa disahkah sebelum masa jabatan berakhir. DPR mengungkapkan bahwa usulan ini merupakan tindak lanjut dari pembahasan pada tahun 2017 yang tertunda. Lebih lanjut dikatakan bahwa revisi ini tak akan melemahkan KPK.
Meski dalam pernyataannya DPR akan mengatakan bahwa RUU KPK ini takkan melemahkan KPK, disisi lain masyarakat dan para ahli menilai ada potensi-potensi dalam RUU KPK yang bertujuan ingin melemahkan KPK.
KPK melalui situsnya memaparkan 10 poin yang menjadi potensi pelemahan lembaga antikorupsi tersebut dalam RUU KPK. Poin-poin tersebut meliputi independensi institusi KPK yang terancam karena adanya gagasan untuk menjadikan KPK sebagai lembaga Pemerintah Pusat dan pegawai KPK akan dikategorikan sebagai ASN yang bisa berpotensi mengintervensi independensi KPK selama ini.
Dalam RUU KPK juga disebutkan mengenai pembentukan Dewan Pengawas yang dibentuk oleh DPR. Dan nantinya melalui Dewan Pengawas, saat KPK ingin melakukan penyadapan, penggeledahan dan penyitaan mereka harus mengajukan izin terlebih dahulu. Dewan Pengawas yang diangkat oleh DPR, harus memberikan laporan tahunan kepada DPR.
Pembatasan penyelidik dan penyidik juga dicantumkan dalam RUU KPK. Penyelidik KPK hanya boleh berasal dari Polri, sementara Penyidik KPK berasal dari Polri dan PPNS. Saat di belahan dunia lain telah menerapkan sumber terbuka Penyidik yang tidak harus dari kepolisian di lembaga antikorupsinya, RUU KPK ini seolah-olah ingin membatasi kewenangan KPK untuk secara independen merekrut penyelidik dan penyidik.
Selain itu, RUU KPK ini juga mengatur kewenangan-kewenangan strategis dalam proses penuntutan yang dihilangkan seperti pelarangan ke luar negeri, meminta keterangan perbankan, penghentian transaksi keuangan terkait korupsi, serta meminta bantuan Polri dan Interpol.
Lantas timbul pertanyaan, haruskah dilanjutkan pembahasan RUU KPK ini? Jika tidak, siapakah yang berwenang menghentikan atau mencabut RUU KPK?
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), kekuasaan untuk membentuk undang-undang berada pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lebih lanjut dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa tiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.
RUU dapat berasal dari DPR maupun Presiden. Dalam hal revisi UU KPK, rancangan undang-undang berasal dari DPR. Saat sebuah RUU disetujui dalam rapat paripurna, maka RUU tersebut akan ditindak lanjuti dalam dua tingkat pembicaraan. Pembicaraan I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus. Dalam tingkatan ini dibahas mengenai pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini fraksi.
Pembicaraan II dilakukan dalam rapat paripurna yang meliputi penyampaian laporan atas hasil Pembicaraan I, pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna, dan pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakili.
Pada Februari 2016, RUU KPK sempat ditunda pembahasannya oleh Presiden Joko Widodo dan DPR. Saat itu Pemerintah dan DPR sepakat untuk menunda pembahasan atas revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Keputusan tersebut merupakan hasil dari konsultasi antara pimpinan DPR dengan Presiden Jokowi di Istana Merdeka pada 22 Februari 2019.
Penundaan tersebut hanyalah bersifat sementara yang kapan saja dapat dimunculkan kembali. Selama wacana tersebut belum sepenuhnya dicabut, maka ada kemungkinan revisi tersebut diangkat kembali.
Terbukti di akhir jabatannya, anggota DPR 2014-2019 kembali memunculkan wacana tersebut melalui Baleg DPR yang kemudian disetujui dalam rapat paripurna.
Usul pencabutan atas RUU KPK harus berasal dari DPR karena RUU tersebut merupakan inisiatif DPR bukan pemerintah. Pemerintah dalam hal ini juga harus vokal memberikan arahan dalam proses RUU KPK ini. Apabila memang dirasa melemahkan, hendaknya pemerintah dapat meminta DPR untuk mencabut RUU tersebut.
Belajar dari RUU Permusikan yang juga menuai banyak kontra dari kalangan musisi, RUU tersebut juga akhirnya bisa dicabut dari daftar Prolegnas Prioritas DPR RI tahun 2019. RUU tersebut dicabut melalui rapat antara Baleg DPR RI bersama Kementerian Hukum dan HAM pada 17 Juni 2019.
DPR hendaknya memperhatikan suara masyarakat yang menentang RUU tersebut dan mencabutnya. Pemerintah juga harus memberikan posisi yang jelas apakah mendukung atau tidak atas RUU tersebut. Karena nantinya apabila RUU tersebut sudah selesai dan hanya menyisakan disahkan oleh Presiden dengan ditandatangani dalam waktu 30 hari sejak disetujui oleh Presiden dan DPR. Apabila dalam waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama tidak ditandatangani oleh Presiden, maka RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.(hw)