DISETRAP

Pusat Informasi Hukum

OMNIBUS LAW MENGARAH PADA DIKTATOR BARU

Permibaca Diskusi Berantas Korupsi & Tolak Omnibus Law, Solo (8/3).

Penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang menggunakan konsep Omnibus Law semakin gencar. Undang-undang “sapu jagad” yang secara khusus dipersiapkan untuk mempermudah perizinan investasi tersebut disinyalir justru menciptakan masalah baru dengan banyaknya Peraturan Pemerintah yang harus dibuat untuk menunjang pelaksanaannya.

Dalam diskusi yang bertajuk “Berantas Korupsi dan Tolak Omnibus Law” yang diselenggarakan di Gedung Rahayu, Solo (8/3/2020) Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H., menyampaikan analisanya terkait muatan Omnibus Law RUU Ciptaker. “Awalnya pemerintah berencana menyederhanakan berbagai macam peraturan perundang-undangan untuk menghilangkan prosedur yang tumpang tindaih dan memperlambat perngurusan investasi. Setidaknya 79 undang-undang terpengaruh oleh Omnibus Law ini karena banyak pasal di dalamnya yang direvisi. Namun kalau kita jeli Omnibus Law ini justru membutuhkan 500 lebih PP (baca: Peraturan Pemerintah) untuk melaksanakan Omnibus Law. Kalau begini kan tidak jadi ramping”, ujar Muhammad Taufiq dalam diskusi.

Selain itu terdapat pasal dengan muatan berbahaya yang bisa mengantarkan pada kediktatoran baru. Muatan tersebut ada dalam ketentuan Pasal 170. Dalam pasal tersebut memungkinkan Pemerintah mengubah undang-undang hanya dengan Peraturan Pemerintah. Pasal ini berpotensi menumpuk kewenangan di tangan Presiden.

“Omnibus Law Cipta Kerja ini juga berbahaya. Kenapa? Karena dalam Pasal 170 ayat (2) suatu undang-undang bisa diubah hanya dengan PP saja. Ini berarti kewenangan legislative sebagai pembentuk dan pengubah undang-undang dikangkangi oleh eksekutif. Ini jelas mengarah kepada kediktatoran baru”, tambah Muhammad Taufiq kepada awak media.

Pasal 170 ayat (1) RUU Cipta Kerja menyatakan: “Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini.”

Pasal 170 Ayat (2) berbunyi: “Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

Sedangkan Pasal 170 Ayat (3) menyatakan: “Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.

Kini gelombang penolakan Omnibus Law semakin meluas. Rencananya hari ini, Senin (9/3/2020) mahasiswa di Jogjakarta akan turun ke jalan Gejayan untuk menyerukan penolakan.

Tinggalkan Komentar