Jumlah pasien positif dan meninggal terus bertambah. Diduga hal ini akibat tidak dipatuhinya kebijakan social distancing dan himbauan untuk bekerja, belajar dan beribadah dirumah. Kepolisian, akhirnya mengeluarkan ancaman pidana bagi siapapun yang melanggar himpauan pemerintah tesebut.
Selain sejumlah pasal dalam KUHP, kepolisian juga mencomot pasal 93 dalam UU No.6/2018 tentang kekarantinaan kesehatan yang memuat ancaman pidana. Padahal undang-undang tersebut sekaligus memuat kewajiban pemerintah untuk memenuhi sejumlah kebutuhan masyrakat selama karantina wilayah. Hingga saat ini kebutuhan masyarakat belum terpenuhi.
Lalu, sudah benarkah tindakan Polri dan pemerintah?
Ancaman Polri
Kapolri Jendral Pol. Idam Azis akhirnya mengeluarkan maklumat nomor Mak/02/III/2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Covid-19, Kamis 19 Maret 2020.
Maklumat ini kemudian menjadi dalil bagi jajaran kepolisian untuk kerumunan massa diberbagai daerah. Dilansir liputan6.com jajaran Polri telah melakukan pembubaran 1.371 kerumunan massa yang ada di seluruh Indonesia, Kamis (26/3/2020).
Jika masyarakat bersikeras dan tidak mengindahkan himbauan aparat dapat diancam sanksi pidana. Tidak tanggung-tanggung, masyarakat diancam dengan pasal berlapis. Yakni mulai dari Pasal 212, 216, dan 218 KUHP hingga Pasal 14 UU No 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Pasal 93 UU No 6/2018 tentang Karantina Kesehatan.
“Salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi,” kata Kapolri Jenderal Pol. Idham Azis, Kamis (26/3/2020).
Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Argo Yuwono menjelaskan, maklumat Kapolri antara lain meminta masyarakat tidak mengadakan kegiatan kemasyarakatan yang menyebabkan berkumpulnya massa baik di tempat umum maupun di lingkungan sendiri.
“seminar, lokakarya, konser musik, festival, bazzar, pasar malam, pameran, unjuk rasa, kegiatan olahraga, kesenian, jasa hiburan, pawai, karnaval hingga resepsi keluarga,” Kamis (26/3/2020).
Argo menambahkan, apabila anggota Kepolisian menemukan perbuatan yang bertentangan dengan maklumat Kapolri, maka dilakukan tindakan kepolisian sesuai dengan perundang-undangan.
Hukum Berlaku Integral
Ahli Hukum Pidana dari Universitas Sebelas Maret, (UNS), Dr. Muhammad Taufik menegaskan, penegakan undang-undang harus berdasarkan dan tidak boleh melanggar undang undang. Dalam ilmu hukum hal ini dikenal dengan prinsip Due prosses of law. Sebeb undang undang bersifat integral. Maka prosedur hukum yang adil, logis dan layak wajib dilaksanakan pihak berwenang.
“Jadi, kalau hanya mendasarkan pada UU No.6 /2018 tentang kekarantina kesehatan, yang dicantumkan hanya pasal 93 yang memuat ancaman pidana, itu tidak boleh,” tegas Dr. Muhammad Taufiq kepada IslamToday.id
Taufiq menjelaskan, UU Kekarantinaan harus berlaku utuh, sehingga desakan lockdown secara nasional dapat dilaksanakan. Jika lockdown secara nasional dilaksanakan, maka kekahwatiran masyrakat akan pemenuhan kebutuhan pokok tidak lagi ada.
Lockdown nasional mewajibkan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan, medis, dan kebutuhan sehari hari. Bahkan pemerintah harus bertanggungjawab pada pemenuhan makanan ternak. Sederet hak dan kewajiban itu dimuat dalam pasal 8 dan pasal 55 UU No.6/2018 tentang kekarantinaan kesehatan.
“Kenapa pemerintah tidak menerapkan lockdown, karena pemerintah nggak punya duit. APBN tidak mengcover. Akhirnya pemerintah memutar cara dan memakai retorika seolah-olah UU kekarantinaan kesehatan itu boleh diterapkan secara parsial,” tutur Taufiq
Taufik menambahkan, sebagaimana gugutan tiga tenaga medis kepada PM Edward Philippe dan Mantan Menteri Kesehatan Perancis Agnez Buzyn. Pihak pihak yang merasa diugikan dapat menuntut pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia dapat digugat atas tindakan melawan hukum, sebagaimana dimuat dalam pasal 1365 KUH Perdata. Dalam ketentuan tersebut, Orang yang menimbulkan kerugian karena pelanggrannya wajib mengganti kerugian sebagaimana dialami penggugat.
Urgensi Lockdown
Taufiq menambahkan, kebijakan parsial yang diterapkan pemerintah saat ini turut membahayakan sektor keuangan dan hukum. Diantaranya, penangguhan kredit satu tahun tidak akan berhasil tanpa adanya aturan menteri keuangan.
Disisi lain, dunia hukum juga terancam. Proses hukum dan peradilan menjadi kacau, sebab terdakwa tidak mendapat kepastian hukum, lantaran tidak ada batas yang jelas dalam penerapan social distancing.
Selain itu menurut Taufiq, penerapan lockdown nasional memberi konsekwensi politik dan jaminan kepastian hukum. Termasuk menegakkan maklumat Kapoilri dalam menjaga kondusifitas selama masa karantina wilayah.
“Yang ditunggu masyrakat saat ini adalah lockdown nasional, karena ini memilki konsekwensi politik dan hukum. Kebijakan pemerintah saat ini sangat berbahaya, bahkan bagi dunia hukum”, pungkas Taufiq.
Artikel asli dimuat oleh: https://islamtoday.id/news/20200327030234-7683/pandemi-covid-19-pakar-hukum-pidana-terapkan-uu-kekarantinaan-kesehatan-secara-utuh/
Tinggalkan Komentar