
SOLO, Kamis (13/08) Insiden mertodranan yang terjadi di Pasar Kliwon sebenarnya bukan kali pertama terjadi. Tahun lalu pun juga dengan isu yang sama soal syiah. Berulangnya kejadian ini karena dua hal, pertama hukum yang tumpul; kedua, lemahnya penanganan kegiatan yang tidak berijin. Dr.Muhammad Taufiq.SH MH seorang pakar pidana dari UNS itu mendapat info bahwa akan berlangsungnya acara dimaksud masyarakat luar sudah tahu. Beberapa dari mereka sudah menelepon Polresta Surakarta untuk menghentikan acara itu karena akan ada aksi penyerbuan jika tetap dilangsungkan. Dan ternyata benar peristiwa itu terjadi. Acara akad nikah dan pembubaran paksa oleh sekelompok massa. Massa penyerbu menganggap itu ritual idul chodir salah satu acara keagamaan Syiah. Akhirnya konflik berujung perusakan tak bisa dihentikan.
Sebagai ahli pidana ia menilai tuan rumah kel alm.segaf aljufri juga tidak mengurus perijinan sesuai UU NO.9 TAHUN 1998 ttg keramaian. “Saya yakin jika itu diurus tentu kalau benar akad nikah akan ada aparat keamanan dan kerusuhan itu tidak akan terjadi. Kenapa harus dengan perijinan? Ini masa pandemi dan kerumunan yang diijinkan maximum 20 orang” ujarnya.
Selain itu dalam Pasal 510 ayat (1) KUHP juga menerangkan bahwa diancam hukuman denda barang siapa yang tidak dengan izin polisi atau pegawai negeri yang ditunjuk oleh pembesar itu mengadakan pesta umum atau keramaian umum dana mengadakan pawai di jalan umum.
“Semua ada aturan mainnya. Demi menciptakan ketertiban dalam masyarakat maka haruslah menjunjung tinggi peraturan yang ada. Tidak boleh sesukan hati sendiri karena kita semua sama dihadapan hukum equality before the law” ujarnya.
Di sisi lain ia menilai aksi pembubaran dengan kekerasan itu tidak benar. Itu main hakim melanggar Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan dan perusakan. Ia meminta agar aksi tidak meluas tanggal-tanggal peringatan Syiah dimonitor polisi dan tentu dilarang, sebab Syiah bukan agama.
Tinggalkan Komentar