Disetrap.com- Kemarin 30 Desember 2022, Pemerintah mengumumkan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja yang dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 melalui Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020. Dalam Putusan tersebut, MK memerintahkan pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
Selain itu, MK juga memerintahkan Pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Menanggapi hal tersebut begini pendapat Dr. Muhammad Taufiq S.H.,M.H Presiden Asosiasi Ahli Pidana Indonesia saat dihubungi Disetrap.com pada Minggu (01/01/2023)
“Sikap Jokowi dengan penerbitan PERPU ini bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kebudegan atas Konstitusi RI, dan makin menunjukkan otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo. Ini semakin menunjukkan bahwa Presiden tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang sangat berdampak pada seluruh kehidupan bangsa dilakukan secara demokratis melalui partisipasi bermakna (meaningful participation) sebagaimana diperintahkan MK” Ucap M Taufiq kepada Disetrap.com, Minggu (01/01/2023)
Ia menilai Jokowi memperlihatkan bahwa kekuasaan berada di tangannya.
“Presiden justru mempertontonkan kekuasaan ada di tangannya sendiri, tidak memerlukan pembahasan di DPR, tidak perlu mendengarkan dan memberikan kesempatan publik berpartisipasi. Hal ini terang benderang sebuah pengkhianatan terhadap konstitusi dan melawan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis” ucapnya lagi.
M Taufiq menyebutkan adanya penerbitan PERPU saat ini jelas tidak memenuhi syarat karena dalam pembentukan UU tidak melalui proses yang semestinya.
“Penerbitan PERPU ini jelas tidak memenuhi syarat diterbitkannya PERPU yakni adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa, kekosongan hukum, dan proses pembuatan tidak bisa dengan proses pembentukan UU seperti biasa. Presiden seharusnya mengeluarkan PERPU Pembatalan UU Cipta Kerja sesaat setelah UU Cipta Kerja disahkan, karena penolakan yang massif dari seluruh elemen masyarakat. Tetapi, saat itu Presiden justru meminta masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja melakukan judicial review”
Menurut M Taufiq, Perintah Mahkamah Konstitusi jelas bahwa Pemerintah harus memperbaiki UU Cipta Kerja, bukan menerbitkan PERPU. Namun justru sebaliknya, Saat MK memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional, Presiden justru mengakalinya dengan menerbitkan PERPU.
“Saat MK memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional, Presiden justru mengakalinya dengan menerbitkan PERPU. Perintah Mahkamah Konstitusi jelas bahwa Pemerintah harus memperbaiki UU Cipta Kerja, bukan menerbitkan PERPU. Dampak perang Ukraina-Rusia dan ancaman inflasi dan stagflasi yang membayangi Indonesia adalah alasan yang mengada-ada dan TIDAK masuk akal dalam penerbitan PERPU ini. Alasan kekosongan hukum juga alasan yang tidak berdasar dan justru menunjukkan inkonsistensi di mana pemerintah selalu mengklaim UU Cipta Kerja masih berlaku walau MK sudah menyatakan inkonstitusional. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya juga melarang Pemerintah membentuk Peraturan-peraturan turunan pelaksana dari UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan Inkonstitusional bersyarat. Tetapi dalam perjalanannya Pemerintah terus membentuk peraturan turunan tersebut”
“Penerbitan PERPU UU Cipta Kerja menunjukkan konsistensi ugal-ugalan dalam pembuatan kebijakan demi memfasilitasi kehendak investor dan pemodal. Ini jelas tampak dari statemen pemerintah saat konferensi pers bahwa penerbitan PERPU ini adalah kebutuhan kepastian hukum bagi pengusaha, bukan untuk kepentingan rakyat keseluruhan”
Penerbitan PERPU ini dinilai :
1.semakin melengkapi ugal-ugalan Pemerintah dalam membuat kebijakan seperti UU Minerba, UU IKN, UU Omnibus Law Cipta Kerja, Revisi UU KPK yang melemahkan, Revisi UU Mahkamah Konstitusi, UU KUHP, dan kebijakan-kebijakan lain.
2.Penerbitan di ujung tahun, juga menunjukkan bahwa Presiden Jokowi seorang pengecut tidak menghendaki ada reaksi dan tekanan dari masyarakat dalam bentuk demonstrasi dan lainnya, karena mengetahui warga dan masyarakat sedang dalam liburan akhir tahun.
Terakhir, M Taufiq mengatakan masyarakat harus menolak penerbitan PERPU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan meminta Presiden melaksanakan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 dengan melakukan perbaikan UU Cipta Kerja dengan syarat-syarat yang diperintahkan MK.
“Maka masyarakat harus menolak penerbitan PERPU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan meminta Presiden melaksanakan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 dengan melakukan perbaikan UU Cipta Kerja dengan syarat-syarat yang diperintahkan MK” pungkas Dr. Muhammad Taufiq [][][]
Tinggalkan Komentar