
“Kalau pidana bisa diwakilkan, para koruptor saat diperiksa lebih baik menunjuk advokat atau pengacara sebagai wakilnya saat menjalani pemeriksaan,”
-Dr. Muhammad Taufiq SH, MH-
Masih dalam situasi pandemi di Indonesia Muhammad Said Didu dilaporkan ke Bareskrim Polda Metro Jaya oleh kuasa hukum Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Mantan staf khusus Menteri ESDM itu dilaporkan atas dugaan penghinaan.
Sebelumnya, Said Didu mengunggah video berjudul ‘MSD: LUHUT HANYA PIKIRKAN UANG, UANG, DAN UANG. Luhut yang merasa terhina mengancam akan mepolisikan Said Didu jika tidak minta maaf. Padahal, publik menilai pernyataan Said Didu sebagai kritik yang wajar.
Pakar Hukum Pidana, Dr. Muhammad Taufiq, menegaskan pasal penghinaan terhadap pejabat negara itu sudah tidak ada, karena sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi dan kemudian menjadi delik aduan yang tidak bisa diwakilkan.
“Jadi penghinaan itu masalah pribadi,” ujar Alumnus Program Doktoral Ilmu Hukum UNS itu, Selasa (5/5/2020)
Ia menjelaskan, keberadaan pasal penghinaan sebenarnya mengikuti Pemerintahan Hindia Belanda, saat Indonesia menjadi daerah jajahan Belanda. Pasal tersebut dibuat kerajaan Belanda untuk ‘melindungi Ratu Wilhelmina yang sekaligus sebagai Kepala Negara Kerajaan Belanda.
Lanjut Taufik, namun dari rezim ke rezim pemerintahan di Indonesia, melestarikan pasal penghinaan Kepala Negara. Pasal ini dijadikan senjata untuk memenjarakan siapapun yang dianggap sebagai lawan politik.
“Padahal bentuk negara dan sistemnya beda, Indonesia bukan kerajaan,” imbuhnya
Seiring berjalannya waktu pegiat HAM menilai penerapan pasal penghinaan dinilai kebablasan dan melanggar hak-hak demokrasi khususnya kebebasan berpendapat. Meski meniru Kerajaan Belanda namun KUHP Belanda tidak ada pasal penghinaan Kepala Pemerintahan yakni Perdana Menteri.
“Jadi aneh hari ini masih ada pejabat dikritik dianggap menghina negara itu ngawur ” ujar penulis buku Terorisme Dalam Demokrasi itu.
Akhirnya Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis. MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi.
Namun, belakangan pemerintah kembali memasukan pasal penghinaan terhadap Presiden, wakil Presiden dan pejabat pemerintah dalam Revisi Kitab Undang Undang Hukum Pidana.
Advokad dan Kuasa Hukum
Penulis buku Mahalnya Keadilan Hukum ini menyarankan, agar Pengacara Luhut mendalami lagi putusan MK dan arti penghinaan. Karena penghinaan merupakan delik aduan , maka Luhut sendiri yang harus datang mengadu ke polisi bukan dikawkilkan.
Ketua DPC IKADIN (Ikatan Advokat Indonesia) Surakarta ini menjelaskan, ada perbedaan mendasar terkait peran advokat dalam hukum pidana dan perdata. Dalam perkara pidana advokad disebut penasihat hukum. Sedangkan advokat dalam perkara perdata disebut kuasa hukum, sebab ia menjadi kuasa atau yang mewakili pemberi kuasa. Oleh karena itu, maka tidak dikenal sebutan kuasa hukum dalam perkara pidana.
“Oleh karenanya tidak tepat kalau Luhut Binsar Panjaitan merasa dihina Said Didu kok yang lapor pengacaranya. Kewajiban dan tanggung jawab pidana itu tidak bisa diwakilkan, itu urusan pidana bukan perdata,” jelasnya
“Kalau pidana bisa diwakilkan, para koruptor saat diperiksa lebih baik menunjuk advokat atau pengacara sebagai wakilnya saat menjalani pemeriksaan,” imbuhnya.
Penulis : Aris Dwi Saputro
Tinggalkan Komentar