Polemik Hukum Hubungan Sedarah

Setelah heboh adanya pernikahan sedarah (AS) (32) yang menikahi adik bungsunya dengan FI (20) dilangsungkan di Gunung Sali Ilir, Kalimantan Timur, yang kemudian dilaporkan HE istri sah AS ke Polres Bulukumba Sulawesi Selatan hingga mereka lari ke Surabaya. [1]

Kembali viral hubungan sedarah antara AA (38) dan adik kandungnya, BI (30) yang sampai membuahkan dua orang anak, berusia 2,5 tahun dan 1,5 tahun serta satu masih dalam kandungan di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan ditanggapi oleh  AKP Faisal Syam Kasat Reserse Kriminal Polres Luwu yang dikonfirmasi Selasa (30/07/2019), “Tidak ada sanksi pidana yang menjeratnya karena pertama yang bersangkutan sama-sama dewasa yang kedua dia melakukan atas dasar suka-sama suka, sehingga untuk kasus penanganan pidananya belum ada pasal yang bisa menjeratnya melainkan penanganan hanya berupa sanksi sosial terhadap yang bersangkutan,”

Diketahui, di rumah AA dan BI tinggal 7 orang, yakni 4 anak masing-masing 2 anak dari hubungan suami lama BI, 2 anak hasil hubungan cinta terlarang, serta tinggal orangtua pelaku dan kedua pelaku. Patunuri, salah satu warga Desa Lamunre Tengah menuturkan warga mengusir AA, BI, serta seluruh keluarga dari desa. Masyarakat menginginkan agar mereka meninggalkan kampong kesepakatan itu diambil setelah dilakukan pertemuan dengan perangkat desa, ketua MUI, kepolisian, Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak, tokoh agama, lembaga pemerhati perempuan dan anak, serta masyarakat.

Menurut Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, Senin (29/7/2019) kasus pernikahan sedarah antara AA dan BI pelanggaran perdata, bukan pidana. Hal itu, menurut Undang-undang yang mengatur mengenai hubungan sedarah adalah Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal itu terdapat 6 kategori perkawinan yang dilarang berdasarkan hubungan darah. Pelanggaran akan pasal ini masuk dalam ranah hukum perdata. Jika melanggar, pernikahan pelaku harus dibatalkan demi hukum. Namun dalam kasus ini AA dan BI tidak terikat dalam perkawinan yang sah. alhasil keduanya tak bisa dijerat dengan pasal ini. [2]

Melihat pengertian hubungan sedarah atau hubungan sumbang atau inses[3] (bahasa Inggris: incest) adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki ikatan keluarga (kekerabatan) yang dekat, biasanya antara ayahdengan anak perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya, atau antar sesama saudara kandung atau saudara tiri. Pengertian istilah ini lebih bersifat sosio antropologis daripada biologis (bandingkan dengan kerabat-dalamuntuk pengertian biologis) meskipun sebagian penjelasannya bersifat biologis.

Sebagaimana pemaparan Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, hubungan sedarah dalam hukum di Indonesia tidak dapat dijerat sebagai tindak pidana. Sedangkan dalam hukum Islam pernikahan sedarah ataupun hubungan sedarah masuk dalam kategori perzinahan yang dilarang sebagaimana di atur dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 23, karena merusak syariat atau agama, jiwa, akal, harta, dan pastinya keturunan.

Selama ini di Indonesia zina menurut pasal 284 KUHP adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah menikah dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Persetubuhan tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka dan tidak merupakan paksaan dari salah satu pihak

Kekosongan Hukum Indonesia

Untuk menjawab ekosongan hukum terkait hubungan sedarah sebagaiman kasus di atas, perlunya perluasan pasal zina dalam draf rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang harus dibahas dan segera di sahkan oleh DPR dan Pemerintah. Kalaupun tidak di tuangkan dalam KUHP. Untuk itu perlulah DPR bersama Pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dengan menambahkan pada Ketentuan Pidana. Serta kaluapun tidak segera dibuat dan disahkan maka akan menganggap perkara zina adalah perkara yang ditolerir dan biasa sehingga semakin banyak yang melakukanya hingga selain rusaknya tatanan kehidupan berbangsan dan bernegara, juga rusaknya fitrah manusia itu sendiri yang beradab dan berakal.

KUHP yang baru harus memuat orang-orang yang melakukan zina bisa dipidana dan jangan masuk lagi masuk ke delik aduan tapi delik umum.

Zina disini bukan hanya sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 284 KUHP sekarang, tapi juga antar lain :

  1. Seseorang yang mengaku sebagai korban perkosaan yang tak bisa membuktikan perkosaan dan pelaku perkosaan mengaku suka sama suka.
  2. Wanita dan pria yang bukan keluarga dan tidak terikat dalam ikatan perkawinan yang sah dan tercatat tinggal bersama di satu tempat kontrakan atau sejenisnya dan kedapatan melakukan sebagaimana layaknya hubungan suami istri.
  3. Pasangan tanpa Akta Nikah, termasuk nikah siri, poligami, dan nikah adat yang tak dapat membuktikan secara hukum perkawinan mereka. Termasuk dalam hal ini pernikahan sedarah, karena pernikahan sedarang tidak mungkin tercatat dalam Akta Nikah.
  4. Pasangan sejenis (LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender)) yang secara terang-terangan mengakui dan atau melakukan hubungan layaknya suami istri.

Adanya pendapat yang menyatakan perluasan pasal zina berpotensi meningkatkan kriminalisasi terhadap privasi warga negara hingga dapat membuat masyarakat main hakim sendiri, merupakan kekhawatiran yang dipelintir dan jelas salah. Karena zina bukan lagi ranah privat tapi sudah masuk kedalam ranah publik. Zina bukan hanya merusak keturunan, tapi juga tatanan sosial hukum yang adil bahkan mampu menimbulkan konflik hingga terjadi tindak pidana lainnya. Termasuk tidak adil bagi anak-anak dan perempuan. Justru perbuatan zina melanggar hak asasi manusia. Sedangkan main hakim sendiri atau persekusi dapat diatasi dengan pasal 170, pasal 351, dana atau pasal 170 atau bahkan perlu dibuat pasal tersendiri yang mengatur larangan menuduh zina tanpa adanya bukti. sehingga kasus tindak pidana perzinahan  harus dibuktikan juga melalui proses hukum termasuk melalui proses peradilan.


[1] Artikel ini telah tayang di tribun-timur.com dengan judul 7 Fakta Pria Bulukumba Nikahi Adik Kandungnya, Istri Sah Ungkap Kronologi Perkawinan Sedarah itu, https://makassar.tribunnews.com/2019/07/02/7-fakta-pria-bulukumba-nikahi-adik-kandungnya-istri-sah-ungkap-kronologi-perkawinan-sedarah-itu.

[2] Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Polemik Pernikahan Sedarah Kakak Adik di Luwu, Tak Dijerat Hukum hingga Diejek Masih Bujangan”, https://regional.kompas.com/read/2019/07/31/06520021/polemik-pernikahan-sedarah-kakak-adik-di-luwu-tak-dijerat-hukum-hingga?page=all

[3] Bixler, Ray H. (1982) “Comment on the Incidence and Purpose of Royal Sibling Incest,” American Ethnologist9(3), August, pp. 580–582.

Oleh: Fatikhatus Sakinah, S.H.I.

Tinggalkan Komentar